Tawakal
-->
Bisamillaahirrohmaanirrohiim
Secara bahasa tawakal adalah berserah diri, menyerahkan, mewakilkan. Sedangkan secara istilah, tawakal adalah menyerahkan hasil akhir dari segala sesuatu kepada Allah. Umumnya tawakal dipahami sebagai menyerahkan segala sesuatu kepada Allah setelah berusaha secara maksimal. Bila kita renungkan lebih jauh, tawakal model pemahaman yang terakhir ini adalah termasuk jenis tawakal yang kepekso/ terpaksa. Kata-kata ‘setelah berusaha’ pada pemahaman tawakal secara umum itu, menunjukkan bahwa tawakal itu hanya dilakukan bila terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan rencana semula, sebab kalau segala sesuatunya sudah sesuai dengan rencana, maka bertawakal itu menjadi tidak ada, tidak ada yang namanya tawakal dalam kamus kehidupannya.
Pemahaman terhadap tawakal yang kurang tepat sebagaimana model yang terakhir tadi, akan mewujud dalam sikap kurang tepat pula. Yaitu orang hanya mau bertawakal kalau kondisi orang itu memaksa demikian, atau tidak ada pilihan lain kecuali harus dengan bertawakal, tawakalnya tawakal yang terpaksa/kepekso. Seperti jika orang sudah selesai berusaha tapi hasil tidak kunjung diperoleh, ia baru bertawakal. Kalau orang mengalami sesuatu kejadian yang mencemaskan, baru ia menenangkan diri dengan bertawakal. Bila orang berkerja sudah beres tapi bayaran belum diberikan, barulah ia mau tawakal. Kalau terjadi sesuatu yang kita tidak sanggup menanganinya, kita baru mau tawakal dan sebagainya.
Sebagai ilustrasi, ambil saja sebuah team. Orang-orang yang dilibatkan dalam team itu, akan merasa lebih bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan teamnya. Sedangkan orang-orang yang di luar team itu, cenderung akan cuek saja terhadap masalah yang terjadi dalam team tersebut. Tawakal sesungguhnya adalah melibatkan Allah dalam setiap aktifitas kita. Kalau sejak semula Allah tidak dilibatkan dengan cara kita bertawakal kepada-Nya, maka itu artinya sama dengan menempatkan Allah di luar team kita, sehingga wajar jika terjadi sesuatu pada team kita atau pada diri kita, Allah seolah-olah membiarkan team kita atau diri kita menghadapi masalah-masalah yang ada sampai sedemikian kuwalahan, sampai merasakan terbentur-bentur dengan berbagai kesulitan yang datang silih berganti seakan-akan tiada henti. Didesign demikian, supaya kita sadar bahwa kita masih membutuhkan Allah. Kita masih sangat bergantung pada-Nya. Dengan tumbuhnya kesadaran itu, diharapkan team kita atau diri kita mau mengundang Allah dengan cara bertawakal. Agar Allah senantiasa terlibat dalam team kita atau dalam setiap aktifitas kita. Sehingga Allah ikut merasa bertanggung jawab atas apa-apa yang menimpa team kita atau diri kita.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, kalau ada team yang mengalami sesuatu kejadian yang pelik, sampai semua anggota team itu menemui jalan buntu, tidak sanggup untuk mengatasi masalah yang ada, maka alternatif terakhir yang mestinya mereka tempuh adalah mereka harus mencari orang di luar team itu yang dianggap mempunyai kompetensi untuk diminta bantuannya guna menangani masalah yang ada. Sepemurah-pemurah manusia kalau ia sudah membantu penanganan masalah yang sukar beberapa kali secara cuma-cuma kepada team tertentu, tentu akan merasa tidak senang bila pada kali lain, di mana team itu telah lancar aktifitasnya, lalu angota team itu bertemu dengannya beberapa kali, tapi beberapa kali pula ia tidak dianggap, ia tidak diperdulikan, ia tidak direken oleh angota team tersebut. Padahal hanya anggukan kepala atau senyum simpul saja sudah cukup membalas bagi harga konsultasi yang selama ini ia berikan. Siapa pun ia, bila ia beberapa kali diperlakukan secara tidak etis, tentu akan merasa tersakiti hatinya. Dan wajar bila suatu saat nanti team itu mengalami kesulitan lagi, lalu mereka datang minta bantuan lagi kepadanya, ia akan ‘melehke’, “Kalian ini hanya mau menanggap saya kok kalau hanya ada masalah saja sih, kalau sedang lancar kalian bersikap seperti tidak pernah mengenal saya, acuh tak acuh dan makin menjauh saja. Apa kalian kuatir kalau dimintai duit sama saya? Selama ini toh kalian berkonsultasi ke saya, saya juga tidak minta duit sepeser pun atau sesuatu pun, kan?! Apa perlu sekarang saya pasang tarip?!” Bagi orang-orang yang berbudi tentu akan memilih membayar mahal daripada harus menerima kata-kata tempelak yang demikian. Bagaimana dengan sikap kita terhadap Allah selama ini? Apakah Anda hanya mau ingat kepada-Nya ketika ada masalah saja? Bila jawabnya adalah ‘ya’, maka jangan salahkan siapa-siapa bila Anda sering mendapat masalah.
Sebagaimana telah diibaratkan di atas, bahwa tawakal itu sebenarnya adalah melibatkan Allah dalam usaha kita. Oleh karena itu, sebaiknya bertawakal itu dilakukan sebelum kita memulai usaha atau sebelum kita memulai aktifitas. Dengan begitu, berarti kita melibatkan Allah sejak awal usaha kita, sehingga ada atau tidak masalah, kita akan tetap tenang karena kita selalu bersama bantuan dari Allah. Kalau ada masalah menghadang kita, kita akan termotivasi menghadapi masalah itu dengan gagah berani, karena akan ada keyakinan yang timbul dari benak kita yang bertawakal sejak awal bahwa masalah itu pasti sudah disediakan solusinya secara bijak dan indah oleh Allah dan kita yakin bahwa dengan masalah itu, sesungguhnya kita sedang diberi pelajaran baru yang amat berharga, saking berharganya sehingga perlu masalah gede agar kita tidak mudah melupakan pelajaran itu. Keyakinan yang demikian ini, selain akan membuat kita bersyukur karena mendapat pelajaran/masalah itu juga secara psikologis akan meringankan beban yang kita pikul, sehingga kita dapat berpikir secara tenang dan jernih. Keputusan atau hasil dari pikiran yang tenang dan jernih itu akan jauh lebih obyektif dan lebih rasional, lebih memuaskan semua pihak dibandingkan dengan keputusan yang dihasilkan dari pikiran yang cemas dan kalut.
Tawakal sebelum memulai aktifitas akan menambah energi positif bagi kita. Kalau masalah muncul, kita akan dengan suka cita segera mensyukuri karena diberi sarana untuk mengoptimalkan otak, waktu dan tenaga kita dengan baik. Kalau orang lain mendapat masalah akan merasa mendapat beban, mendapat hambatan, mendapat bencana. Maka bagi kita yang bertawakal akan merasa bahwa kita sedang diberi hadiah berupa alat berlatih untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang kita miliki, baik kecerdasan fisik, kecerdasan emosi, kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual dan kecerdasan adversitynya. Kita juga akan bersyukur atas hadiah istimewa yang telah dipersiapkan buat kita bila kita berprestasi baik dalam latihan itu. Sehingga dengan keyakinan yang baik dan pikiran-pikiran positif kita itu, kita akan menanggunangi masalah-masalah yang ada itu dengan senang. Kita dapat menikmati hidup meskipun dalam ruang kawah condrodimuko. Munculnya masalah yang menghadang kita, tidak akan membuat kita menjadi mengecil, tapi sebaliknya dengan datangnya masalah, justru akan membuat kita tersenyum, karena mendapat tiga hadiah beruntun ; yaitu sarana latihan, derajat bila berprestasi dan pelajaran yang amat berharga.
Apakah tidak mengganggu kesibukan Allah, kalau setiap kita selalu melibatkan Allah dalam aktifitas kita? Jawabnya tentu ‘tidak’. Kita jangan mengukur kemampuan Allah dengan kemampuan manusia. Meskipun Allah itu maha sibuk, tapi kalau Allah dilibatkan dalam aktifitas kita, yang secara nalar berarti kita mengganggu kesibukan Allah, namun bagi Allah hal itu sama sekali tidak mengganggunya, bahkan Allah akan tambah senang bila senantisa dilibatkan. Tentu hal ini berbeda bila dibandingkan dengan alam pikiran manusia, karena yang terjadi pada manusia kalau ada orang yang terhormat sedang sibuk sekali, lalu datang orang mengganggu kesibukannya untuk kepentingan pribadi si pengganggu tadi, maka orang tersebut akan dianggap tidak etis. Namun sekali lagi, dalam hal ini sungguh amat berbeda, Allah justru senang kalau Allah senantiasa dilibatkan dalam aktifitas kita atau “dianggunggu’ untuk kepentingan kita, untuk kepentingan perorangan sekalipun. Buktinya banyak ayat-ayat dalam al Qur’an yang menyuruh kita untuk bertawakal kepada Allah.
Bagaimana dengan nabi dalam mempraktekan tawakal? Nabi Muhammad saw dalam bertawakal selalu dilakukan sebelum memulai aktifitas, sebagai mana hadits nabi yang menyuruh kita berdoa kalau mau bepergian dengan doa : Bismillaahi tawakaltu ‘alallaah laa haula walaa quwwata illaa billaah. Artinya : Dengan nama Allah, saya bertawakal atas Allah, tiada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan Allah yang Maha Luhur dan Maha Agung.
Doa di atas dianjurkan kepada kita sebagai umatnya supaya dibaca ketika kita mau bepergian. Bukan dibaca ketika kita mengalami masalah dalam perjalanan kita. Dengan kata lain, kita disuruh bertawakal sebelum kita melakukan perjalanan. Atau dapat pula dijabarkan menjadi bahwa kita harus bertawakal sebelum kita memulai setiap aktifitas kita. Bukan bertawakal ketika ada masalah yang menghadang kita!
Bertawakal sebelum memulai aktifitas itu bukan berarti bahwa setelah kita bertawakal kemudian kita boleh santai atau bahkan tidak melakukan usaha apapun, mentang-mentang telah melibatkan Allah. Sikap yang demikian adalah keliru! Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa nabi dulu, ada sahabat nabi yang turun dari untanya, lalu ia bertawakal kepada Allah tanpa mengikat untanya ke tiang, sikap sahabat nabi yang demikian itu ternyata ditegur oleh nabi, dengan pertanyaan “Mengapa Anda tidak mengikat unta Anda?” Tanya nabi. Apa jawab sahabat nabi tadi “Karena saya telah bertawakal kepada Allah”. Mendengar jawaban yang demikian, nabi kemudian menunjukan cara tawakal yang benar yaitu setelah bertawakal kepada Allah lalu disuruh menyempurnakan tawakalnya itu dengan melakukan usaha yang proporsional yaitu dengan mengikat untanya.
Dengan kita bertawakal kepada Allah, selayaknya kita justru harus lebih giat dan bersungguh-sungguh dalam beraktifitas, karena dengan bertawakal kepada Allah berarti kita telah berani melibatkan Allah dalam aktifitas kita itu. Konsekwensinya ya kita tidak boleh malas-malasan menunggu bagaimana Allah beraksi, tapi kita harus lebih giat dan bersungguh-sungguh. Ibarat kalau kita melibatkan presiden dalam usaha kita, ya etikanya kita tidak kemudian melihat bagaimana presiden bekerja, sedang kita hanya menonton saja. Orang kalau presiden itu sudah mau menemani kita saja, itu sudah cukup membuat kita senang dan giat bekerja. Apalagi kalau presiden itu mau membantu kita dalam pekerjaan kita, tentu kita akan lebih giat lagi. Kita akan sangat malu bila sang presiden yang sedang membantu kita itu, melihat kita sedang kita lagi menganggur. Logika ini cukuplah menggambarkan kepada kita bahwa dengan kita bertawakal, kita harus lebih giat dan lebih serius dalam bekerja.
Ada tambahan lagi, bahwa dengan tawakal akan menjadikan kita tidak mudah kecewa. Ini benar, kalau tawakal yang kita lakukan adalah tawakal yang benar. Yaitu bertawakal sebelum memulai aktifitas lalu melakukan aktifitas itu dengan serius dan giat. Karena kalau ada kegagalan dengan aktifitas kita itu, kita akan dapat tersenyum tulus, sebab dengan bertawakal yang benar itu akan menumbuhkan dalam benak kita suatu keyakinan bahwa hal itu adalah yang terbaik buat kita. Kalau kegagalan saat itu adalah yang terbaik buat kita, berarti tidak ada pilihan yang lebih baik lagi buat kita pada waktu itu selain kegagalan itu sendiri.
Dan tidak ada ruginya kita bertawakal kepada Allah. Sungguh!. Beda kalau kita melibatkan orang lain di dalam usaha kita, karena ada pemikiran bahwa hasilnya akan terkurangi dengan memberi bagian kepada orang lain itu. Tapi kalau melibatkan Allah dalam usaha kita, kitalah yang beruntung, karena kita dibantu oleh Allah dan tidak perlu memberi bagian untuk Allah dari keuntungan yang diperoleh itu. Demikian semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Salam Sukses Bahagia
Oleh : Nur Muhid
Ingin
Umroh??? Ada kendala biaya???? Mau kerja
sampingan????
Silakan
kontak
: 0852 2580 5657
Label: tasawuf
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda