Jumat, 21 Oktober 2022

AL ASHR

Wal Ashr Innal insaana lafii khusr, illal aldzdiina aamanuu wa amilushshoolihaati watawaashou bil haqqi watawaashou bish shobr Demi masa, sesungguhnya manusia itu sungguh dalam keadaan rugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dan saling mewasiati dalam kebenaran dan saling mewasiati dalam kesabaran. Bunyi ayat pertama surat Al Ashr adalah Wal `Ashri, wawu yang digunakan dalam permulaan ayat pada surat al Ashr ini adalah wawu qosam. Yakni kata sumpah yang biasa diartikan “demi”. Hampir semua nama waktu dipakai untuk bersumpah oleh Alloh, Seperti demi malam (wallaili), demi subuh (was shubhi), demi dhuha (wadhdhuha), demi waktu siang (Wannahari), demi waktu fajar (walfajri). Untuk apa Alloh bersumpah menggunakan nama makhluk-Nya? Hikmahnya antara lain bahwa nama yang dijadikan sumpah oleh Alloh itu adalah sesuatu yang penting untuk direnungkan, dilteliti, diamati, diperhatikan oleh manusia. Khusus untuk waktu asar ini coba kita cek berapa lama waktunya? Rata-rata dua jam 40 menit. Sebentar lagi matahari terbenam, hari jadi gelap. Waktu asar adalah waktu transisi/perpindahan dari terangnya siang berganti gelapnya malam. Peristiwa alam ini mengingatkan kita pada kehidupan manusia yang sebentar lagi mati, hidup cuma sebentar namun mengemban tanggung jawab yang besar dan panjang waktunya. Inna al insaana lafii khusr. Penggunaan alif dan lam pada kata al insaan menunjukan bahwa kata tersebut termasuk isim makrifat (definitive) yang berarti terbatas hanya pada manusia tertentu saja. Yakni manusia yang mukalaf saja. Jadi setiap manusia yang mukalaf, baik itu kaya atau miskin, yang tua atau yang muda, yang pinter atau yang bodoh, yang kota atau yan desa, yang kulit putih atau yang kulit hitam, yang pria atau yang wanita, yang utuh maupun yang cacat, yang tinggi atau yang pendek semuanya tercakup dalam kata tersebut. Sementara kata khusr tidak menggunakan alif lam, kata ini termasuk isim nakiroh (indefinitive ) yang berarti tak tertabatas pada kerugian tertentu saja. Akan tetapi semua jenis kerugian masuk dalam kategori ini, baik kerugian materiil ataupun moril, kerugian lahir atau pun batin. Jadi dalam surat al Ashr itu ada pembatasan pada kreteria manusianya, yang masih belum mukalaf tidak masuk begitu juga orang gila juga tidak masuk. Tapi kerugiannya tanpa batas, artinya berbagai macam jenis kerugian akan dialami oleh manusia. Timbul pernyataan kalau begitu lebih baik gila saja biar tidak akan mengalami kerugian?? Tunggu dulu, kalau gilanya itu sebelum mukallaf ya tidak ada tanggung jawab, atau sejak ia gila sampai ia mati juga tidak diminta tanggung jawab, tapi kalau gilanya itu setelah ia mukallaf, maka pada rentang waktu antara ia masuk mukalaf sampai ia gila itu ia tetap akan diminta tanggung jawabnya. Jadi kalau Anda yang sekarang ini sudah mukalaf terus ingin menghindar dari kerugian dengan cara anda menjadi gila itu adalah kesalahan besar. Karena tuntutan akan tetap ada. Solusinya bukan bagaimana menjadi gila tetapi bagaimana agar tidak mengalami kerugian itu, setidaknya meminimalisir kerugian. Caranya ada dalam kelanjutan ayat surat Al Ashr ini. Illal ladziina aamnuu wa ammilush shoolihaati wa tawaashou bil haqqi wa tawaashou bis shobr. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dan saling mewasiati dalam kebenaran dan saling mewasiati dalam kesabaran. 1. Orang-orang yang beriman. Artinya beriman kepada Alloh swt dengan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain, beriman kepada malaikat- malaikat Alloh, beriman kepada kitab-kitab-Nya, beriman kepada utusan-utusan-Nya, beriman kepada hari akhir dan beriman kepada qodlo dan qodar Alloh swt. 2. Beramal sholih, artinya mentaati perintah-perintah Alloh dan mengikuti sunah-sunah Rosul-Nya. Baik dalam urusan ibadah, bermasyarakat, berdagang, bertani atau yang bersifat pribadi seperti cara makan, cara minum, cara tidur, cara berpakaian, cara berkeluarga, cara mendidik anak dan lainya. 3. Saling mewasiati dalam kebenaran. Kata yang digunakan bukan tanaashohuu yaitu saling menasehati tapi tawaashou saling mewasiati. Apa bedanya? Kalau menasehati itu masih ada kesan boleh tidak dipatuhi. Kalau mewasiati itu ada kesan wajib dilaksanakan. Mewasiati kebenaran itu berarti amar makruf. Nabi bersabda ”Amar makruf ummul hasanaati”, amar makruf/memerintahkan yang baik itu induknya kebaikan. Dengan amar makruf itu akan tersebar kebaikan di mana-mana. Kata “saling” dalam mewasiati ini menunjukan adanya orang lain dengan kata lain sebaiknya amar makruf ini dilakukan secara berjamaah. Karena dengan dilaksanakan secara berjamaah akan menimbulkan kesan yang sugestif dan secara intern akan saling menguatkan dalam menjalankannya. 4. Saling mewasiati dalam kesabaran. Kalimat ini berkaitan erat dengan kalimat sebelumnya. Dalam mewasiati kebenaran itu sering juga mendapat perlawanan, permusuhan, penghinaan, fitnahan dan seterusnya, sehingga butuh saudara yang memberi wasiat kesabaran. Agar tidak patah arang dalam menegakkan kebenaran, agar tidak emosi ketika difitnah atau dihina, dicemooh dalam menyampaikan kebenaran. Agar tidak terbawa arus oleh olok-olokan dan adu domba. Kesimpulan : 1. Bahwa kita harus cermat menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya. 2. Hidup di dunia ini hanya sebentar, sementara hidup di akhirat itu selama-lamanya, agar tidak merugi ketika kita di akhirat, maka kita harus mempunyai bekal iman, amal sholeh, amar makruf nahi mungkar. 3. Amar makruf adalah induk kebaikan, maka upayakan agar kita dapat melakukan dengan bijaksana dan berjamaah. 4. Memberi dukungan moril terhadap saudara yang sedang mendapat ujian atau musibah adalah penting, agar saudara kita tidak mudah patah arang, tidak lemah dan tidak merasa sendiri sehingga tidak mudah terbawa arus dalam hinaan dan adu domba. Demikian, semoga kita sukses dan bahagia di dunia dan di akhirat. Aamiin 0852-2580-5657

.. selengkapnya ..!

Selasa, 18 Oktober 2022

Mengapa Merasa Diri Suci Itu Dilarang?


Bismillaahir rohmaanir rohiim
Konon di hari kiamat nanti, di depan mahkamah akhirat, ada seorang peternak sapi yang diadili secara bersama dengan seorang kiai, kebetulan antara keduanya mereka mati hampir secara bersamaan  pada sebuah kampung yang sama pula.
Setelah menimbang prestasi dan seluruh karya-karyanya. Tuhan tersenyum kepada sang peternak sapi lalu bersabda “Bagus sekali karyamu di dunia wahai peternak. Kamu pantas mendapat surga dengan nomor 424”. Lalu diisyaratkan kepada dua malaikat yang sedang piket untuk membimbingnya menuju surga di lantai 4 kamar 24.
Kiai yang antri persis di belakang sang peternak sapi itu heran. “Bagaimana mungkin sang peternak sapi yang cuma ke masjid seminggu sekali, dan itu pun datangnya selalu terlambat, kok bisa masuk
Baca selengkapnya »

Label: , , , , ,


.. selengkapnya ..!

Itsar (mendahulukan yang lain)

Disarikan dari Tulisan Gus Mus Bismillaahir rohmaanir rohiim Salah seorang putera shahabat Umar Ibn Khatthab suatu ketika di zaman ayahnya menjadi kepala negara, pernah merasa tagih –semacam ngidam—kepada daging kambing. Maka disembelihnya kambing satu-satunya yang ia miliki dan menyuruh isterinya memasaknya. “Sudah lama sekali aku tidak memakan daging kambing!” katanya. Syahdan; sebelum sempat dia menikmati daging kambingnya, datang ayahnya, sang Amirul mukminin Umar Ibn Khatthab. Dengan arif, sang ayah mengingatkan bahwa saat ini negeri sedang dilanda paceklik; banyak orang tidak menemukan makanan untuk sekedar menutup rasa lapar. Dalam keadaan seperti ini, sangatlah tidak pantas, bila putera kepala negara justru ‘berpesta’ kambing guling. Sang putera pun segera menyadari kekhilafannya dan menyesal. Mungkin karena tagihnyalah sampai lupa tersadari olehnya kondisi negerinya yang sedang dilanda paceklik dan banyak saudara-saudaranya yang kelaparan. Walhasil, akhirnya kambing yang sudah masak pun diserahkan untuk dibagikan kepada penduduk yang jauh lebih membutuhkan. Itulah ietsaar, sikap mementingkan orang lain dari diri sendiri. Kita jadi teringat kisah di zaman Nabi yang terjadi seusai sebuah pertempuran. Beberapa prajurit yang terluka terlihat kehausan, sedang persediaan air minum terbatas. Maka apa yang terjadi? Masing-masing prajurit yang terluka itu ‘berebut’ menyerahkan hak minum kepada rekannya. “Berikan dulu minuman itu kepada rekanku ini, dia lebih membutuhkan dari pada aku!” masing-masing mengucapkan ini karena didorong oleh sikap ietsaarnya. Air minum pun berputar dari satu prajurit kepada prajurit yang lain hingga akhirnya, masya Allah, prajurit-prajurit itu gugur semuanya karena kehausan. Syeikh Sariy as-Saqathy (wafat th. 253 H./967 M.) seorang arif, paman dari Sufi terkenal al-Juneid dan murid sufi besar Ma’ruf Karkhy, pernah berkata: “Tiga puluh tahun aku beristighfar, memohon ampun Allah atas ucapanku sekali ‘Alhamdulillah’!” “Lho, bagaimana itu?” tanya seseorang yang mendengarnya. “Terjadi kebakaran di Baghdad,” kata Syeikh menjelaskan, “lalu ada orang yang datang menemuiku dan mengkabarkan bahwa tokoku selamat tidak ikut terbakar. Aku waktu itu spontan mengucap, Alhamdulillah! Maka ucapan itulah yang kusesali selama 30 tahun ini. Aku menyesali sikapku yang hanya mementingkan diri sendiri dan melupakan orang lain.” Anda bisa membayangkan dalamnya penyesalan Syeikh Sariy as-Saqathy dari kenyataan bahwa beliau beristighafar selama 30 tahun. Tentu bukan ucapan ‘Alhamdulillah’-nya itu benar yang membuat beliau menyesal. Beliau tidak habis-habis menyesal karena sikapnya yang terlanjur diambil dengan mengucap hamdalah. Yaitu –seperti beliau jelaskan sendiri—sikap melihat dan mementingkan diri sendiri. Beliau menyesal ketika musibah kebakaran melanda negerinya, sikap spontannya bukannya prihatin terhadap para korban kebakaran, tapi justru mensyukuri tokonya sendiri yang selamat. Alangkah mulianya penyesalan sufi mulia ini. Saya merenungkan dua kisah itu dan aku malu sendiri. Alangkah jauhnya sikap perilaku aku dengan tokoh-tokoh pendahulu itu. alangkah banyaknya kesalahan-kesalahan yang jauh lebih besar dari itu terlewatkan dan tidak aku sesali. Aku malu dengan sikap egois aku yang keterlaluan selama ini, yang selalu terlalu mementingkan diri sendiri, hingga menganggap orang lain tidak penting. atau malah sama sekali tidak memikirkannya. Ketika beribadah pun aku sibuk dengan diriku sendiri. Salat yang mestinya harus aku akhiri dengan memberi salam, mendoakan selamat, ke kanan ke kiri; tidak pernah aku sadari dan tidak sebenarnya aku niati mendoakan kanan-kiri. Ketika menjadi imam, aku tidak pernah meminta persetujuan jam’ah makmumku akan apa yang aku baca. Bahkan tidak aku pertimbangkan kondisi mereka yang mestinya bermacam-macam. Ada yang tua; ada yang muda; ada yang sibuk; ada yang mempunyai keperluan; dsb. Aku hanya berpikir semua yang aku lakukan sebagai imam, pasti sesuai dengan mereka. Apa pun sikap aku –saat berdiri, ruku’, sujud, dsb.— dan apapun yang aku baca –panjang atau pendek—hanya terserah kemauanku. Mereka harus ikut. Ketika memberi sedekah, yang teringat olehku pertama dan paling utama bukan hajat orang yang aku sedekahi, tetapi balasan yang akan aku terima. Kadang-kadang malah balasan itu aku harapkan secepatnya di dunia ini. Ketika aku berpuasa, aku hanya memikirkan lapar dan hausku sendiri, seraya membayangkan dan mengharapkan sorga Rayyan. Sengatan haus dan lapar yang sangat sementara, tidak membuatku teringat kepada saudara-saudaraku yang haus dan laparnya nyaris permanen. Ketika berhaji aku hanya memikirkan kemabruran hajiku sendiri, tanpa memikirkan saudara-saudaraku yang juga ingin haji mereka mabrur. Seringkali aku mendesak dan menyikut kanan-kiri demi kemakbulan ibadahku sendiri. Apabila dalam ibadah ritual saja, egoku yang mengedepan; bagaimana pula dengan ibadah sosialku? Astaghfirullah! Allahumma innaKa ‘Afuwwun Kariem tuhibbul ‘afwa, fa’fu ‘anna! Ya Allah, anugerahilah aku keberanian untuk bersikap ietsaar, mementingkan orang lain. Atau setidaknya jauhkanlah aku dari sikap ananiyah, yang hanya mementingkan diri sendiri. Amin. (*) Salam Sukses Bahagia Ingin Umroh??? Ada kendala biaya??? Mau kerja sampingan??? Silakan kontak 0852 2580 5657

.. selengkapnya ..!

Minggu, 16 Oktober 2022

Etika Membaca Al Qur`an

Membaca al Qur`an adalah salah satu dari jenis ibadah sunah yang dianjurkan untuk dikerjakan. Ibadah apa pun itu akan semakin lebih berkwalitas nilainya selaras dengan semakin disempurnakannya tertib dan adab-adabnya. Mengapa ada kaitan erat antara kwalitas di satu sisi dengan tertib dan adab di sisi lain? Karena tujuan ibadah itu adalah upaya untuk “menyenangkan Alloh” jadi bukan sekedar melakukan saja, tapi juga ada unsur bagaimana supaya dengan pekerjaan kita itu menjadikan Alloh ridlo? Ibarat ketika orang tua kita memerintahkan untuk dibuatkan kopi. Ya kita harus mengerti cara untuk membuat kopi berikut alat yang disukai orang tua kita dalam menghidangkannya. Kalua asal bikin kopi tanpa menghiraukan cara standart yg dimaui orang tua kita, bias-bisa justru akan membuat orang tua kita jadi marah. Misalnya bikin kopi dengan adonan gula, kopi tapi airnya pakai air dingin. Disajikan menggunakan ember. Ketika orang tua kita melihat kita bawa ember, tentu beliau sudah geram. Apalagi setelah beliau cicipi rasanya seperti debu yg diaduk. (rasa kopi yang tidak pakai air panas kan seperti itu). Tentu orang tua kita akan marah dan menolak kopi buatan kita itu, meskipun seember banyaknya. Jadi meskipun kita telah mentaati perintah beliau, tapi gara-gara salah cara dan alatnya, kita malah dibilang menghina beliau. Inilah sesungguhnya yang terjadi bila kita beribadah dengan asal-asalan atau beribadah menurut dugaan kita. Untuk lebih mudahnya memahami pernyataan ini, kita bandingkan dengan ilustrasi beerikut : bila kita menulis puisi, kemudian kita temple di papan pengumuman atau di madding. Lalu datang orang membaca puisi yang kita temple tersebut. Bagaimana perasaan kita? Tentu kita akan senang. Kita senang karena puisi kita dibaca orang dan kita akan menyenangi orang yang membaca puisi kita. Dengan catatan bila orang tersebut membaca dengan benar. Sekarang bagaimana perasaan kita bila puisi kita itu dibaca orang secara salah, yang mengakibatkan berubahnya arti? Misalnya tulisan puisi kita berbunyi “ketika jiwa yang mulai berkobar” dibaca “ketik aji wayang mula iber kobar” hari berikutnya si pembaca tadi dating lagi untuk baca puisi kita dengan cara yang sama salahnya seperti yang kemarin. Hari berikutnya dating lagi, bacanya salah lagi. Demikian seterusnya. Kita yang awalnya memaklumi lama-lama berubah menjadi jengkel pada si pembaca puisi kita itu. Kita akan merasa dilecehkan atau diledek olehnya ketika si pembaca puisi kita itu dating untuk membacanya dengan salah lagi. Begitu juga dengan membaca al Qur`an yang tidak sesuai dengan aturan bacaannya, entah itu tidak pas mahrojnya, tidak sesuai panjang pendeknya, yang tidak tasydid dibaca tasydid, giliran ada tasydid tidak dibaca tasydid, salah tajwidnya bisa idhghom atau ikhfaknya dan seterusnya. Kesalahan baca al Qur`an itu sesungguhnya “menyakiti perasaan” Alloh, kalau hal ini dilakukan secara pribadi. Tapi kalau hal ini dilakukan oleh khotib atau imam sholat, maka hal ini selain akan menyakiti Alloh juga akan menyakiti perasaan sesama orang Islam. Tindakan menyakiti sesame Muslim itu masuk kategori perbuatan mungkar, berarti hal ini harus dicegah terutama oeh orang yang mempunyai kekuasaan untuk itu. Secara umum umat Islam itu bisa membedakan mana yang bacaan Al Qur`annya fasih dan mana yang tidak fasih. Jadi kalau ada orang menjadi khotib atau imam sholat sementara bacaan al Qur`annya tidak fasih itu makamum dan orang Islam yang kebetulan mendengar itu tidak tau. Mereka tau kalau bacaan imam atau khotib itu tidak fasih, Cuma mereka lebih memilih diam daripada menegur sang imam atau khotib itu. Sebagian berbisik sesama makmum tentang bacaan imam atau khotib yang tidak fasih tersebut. Jadi. Kalau dirasa masih ada yang lebih fasih dalam membaca al Qur`an pada saat itu, sebaiknya jangan memberanikan diri menjadi khotib atau imam sholat. Karena kalau kita tetap memaksakan diri untuk maju menjadi imam sholat, minimal kita akan menjadi penyebab orang lain untuk ghibah/ gossip. Yaitu sebagain makmum akan curhat ke sesame makmum tentang ketidak-fasihan bacaan imam tadi. Seperti celetukan makmum ini “pak Fulan baca al Qur`an masih blepotan kok maksa diri jadi imam ya? Kayak ga ada yang fasih aja” yang menimpali “pak Fulan itu ambisinya gede tp ga dibarengi skil” dst. Oleh karena itu, marilah kita berhati-hati dalam beribadah itu, pelajarilah secara lebih mendalam lagi mengenai seluk beluk, tertib dan adab-adabnya, agar niat awal kita ibadah itu yang sesogyanya untuk mencari ridlo Alloh tidak malah justru mendapat murka dan tidak diterima amal ibadahnya. Dalam hal membaca al Qur`an ini, sebaiknya kita mencari orang yang fasih bacaaanya kemudian belajarlah dari beliau tentang makhroj dan tajwidnya. Untuk adab-adabnya standart minimal mempunyai wudlu, menutup aurat, membaca ta`awud sebelum membaca al Qur`an, menghadap kiblat, sujud tilawah ketika mendengar atau membaca bacaan ayat sajdah, menutup bacaan al qur`an dengan kalimat shodaqoolloohu `adhiim. Setiap kita menginginkan ibadah kita itu diterima Alloh dan memperoleh ridlo-Nya, uniknya sebagian dari kita belum menyadari bahwa untuk mencapai tujuan ini, kita banyak lalai memperbaiki cara kita melakukannya sehingga kita sering merasa bahwa amal ibadah kita sudah bagus, sudah top dan yakin kalau amal ibadah kita itu diterima Alloh swt. Dengan begitu kita merasa sudah tidak perlu mengetahui lebih dalam lagi. Sudah cukup kok. Ingat bahwa perasaan demikian itu adalah tipu daya setan agar amal ibadah kita seperti buih, kosong tidak ada isinya alias sia-sia karena tidak diterima Alloh swt. Na`udzubilllahi mindzaalik. Untuk menghindari ibadah yang sia-sia, marilah kita luangkan waktu dan tenaga untuk mendalami seluk beluk setiap amal ibadah barang 30 menit per hari, ato per 3 hari atau per pekan. Dengan harapan agar dengan upaya kita tersebut dapat menghasilkan kwalitas ibadah kita yang lebih baik sehingga layak untuk dijadikan sebagai bekal kita nanti dalam menghadap Alloh swt. Sebagai tambahan ; lebih 8 jam dalam sehari kita mengerahkan tenaga, waktu dan pikiran kita untuk urusan dunia kita yang sementara ini, masak kita tidak mampu meluangkan waktu, tenaga dan pikran kita barang 30 menit untuk persiapan kita mencari bekal buat akhirat yang akan berlangsung selama-lamanya? Lekaslah menyadari hal ini agar kita tidak menyesal dengan penyesalan yang tidak terkirakan. Demikian semoga Alloh senantiasa mengaruniai kita taufik dan hidayah-Nya, sehingga senantiasa berada pada jalur yg benar. AAmiin. Semoga kita sukses dunia dan sukses akhirat 0852-2580-5657

.. selengkapnya ..!

Selasa, 11 Oktober 2022

Adz Dzariyat 56

Wamaa kholaqtul jinna wal innsa illaa liya`buduun Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali supaya beribadah kepada-Ku. Adalah Jalaludin Romi, seorang sastrawan kondang yang mencoba memahamkan bagaimana maksud ayat ini, yaitu bagaimana manusia dapat beribadah kepada Alloh dalam kehidupan sehari-hari dengan mengarang sebuah cerita pendek yang ringan dan terkesan kocak. Ceritanya begini; Ada seorang pengusaha sepatu yang sukses bernama Zaid, usianya 40 tahunan, pada suatu malam ia iseng bikin roti dan teh sendiri, setelah masakannya kelar, ia bawa roti dan tehnya untuk dinikmati di ruang tengah. Dilihatnya burung perkutut di sangkarnya belum tidur, dia iseng menggerak-gerakan jarinya mengarah ke burung itu “cetet cetet”. Burung pun manggung/ berbunyi ‘ketukur ketukur kok, ketukur ketukur kok”. Dia tersenyum bangga melihat cepetnya burung itu meresponnya. Kemudian dia duduk untuk makan roti sambil menikmati suara burung itu. Habis sudah rotinya dia makan tapi burung masih tetap manggung terus. “Mau ada apa ya? Kok tumben berkicau sampai lama sekali. Padahal sudah larut malam” Gumamnya dalam hati. Terpikirlah olehnya tentang dirinyadi masa lalu. Dulu ia lahir dari keluarga miskin, saat remaja ia hanya buruh sebagai tukang sepatu eh sekarang sudah jadi pengusaha sepatu ya?. Wajahku pas-pasan, orang bilang mukaku biasa-biasa saja eh kok ada perawan cantik yang mau menjadi istriku ya? Aku hanya tamatan SD eh rumahku kok seperti rumah orang yang berpendidikan tinggi ya? Aku termasuk yang biasa-biasa saja, tidak pinter-pinter amat lah eh anak-anakku kok dapat ranking terus ya? Dalam keasyikan menerawang masa lalunya itu ia pun tertidur. Dalam tidurnya ini, dia bermimpi didatangi orang berpakaian serba putih dan mempunyai dua sayap yang terbang memghampirinya, ”Hai Zaid, saya adalah malaikat utusan Alloh yang diutus untuk mengabari kamu bahwa Alloh berkunjung kepadamu besok”. Belum sempat menjawab kesiapan untuk menerimanya, dia sudah keburu terbangun. Dia duduk berpikir apa iya ya Tuhan berkenan mengunjungiku? Dilihatnya jam di dinding menunjukan pukul 2 lewat 5 menit. Berarti mimpi saya bisa jadi benar donk. Tapi terlepas benar atau tidaknya sebaiknya saya membuat persiapan biar kalau mimpi itu benar ya saya sudah siap menerimanya. Kalau mimpi itu tidak benar ya minimal untuk kebaikan saya dan keluarga gitu lah. Keudian dia membuat adonan roti sendiri dan memanggangnya sendiri, ini semua dia lakukan karena dia ingin mempersembahkan roti spesial untuk menghormati tamu agung dengan sebaik mungkin. Sembari menunggu roti matang, ia merebus air untuk persiapan bikin teh. Perabotan rumah dia rapikan, diambilnya sulak/muncai untuk membersihkan perabotan dari debu, kemudian dia menyapu sehingga semua lantainya bersih. Setelah roti matang dan bersih-bersih rumahnya telah kelar, dia pun bergegas mandi. Selesai mandi, dia pilih pakaian yang serba paling bagus, dikenakannya sambil bercermin untuk memastikan semuanya rapi, disisirnya rambut dan tidak lupa mengambil minyak wangi kesukaanya lalu disemprotkan jezz jezz. Buru-buru dia keluar untuk menata roti dan teh di meja ruang tamu. Dia amati keadaan ruang tamu, dari ujung ke ujung. Nampaknya semuanya telah rapi, dia pun bernafas lega. “Hemm berarti semuanya telah siap!” gumamnya sambil tersenyum. Tidak sabar dia menunggu di dalam, dia pun keluar,menengok kalau-kalau tamu agung sudah ada di depan. Ternyata cuacanya mendung tak lama kemudian terdengar suara petir keras berkali-kali diriingi hujan deras, dia pun galau “Hujan deras begini, apa Tuhan jadi datang ya?” tanyanya dalam hati. Dia pun masuk ke ruang tamu lagi. Sudah hampir 3 jam hujan belum reda. Tiba-tiba terdengar “tok tok tok permisi.” Dia pun bangkit berdiri bergegas keluar menyambut tamunya. “Tuhan telah datang!” serunya dalam hati. Sebelum membuka pintu dia pun memasang muka yang ramah seramahnya. Begitu pintu dibuka “Maaf pak mengganggu, saya mau mengantar surat pak” sahut orang di balik pintu. Pak zaid pun menyambut ramah pak pos ini. “oh ya, silakan masuk pak, di luar masih hujan deras. Tunggu di sini dulu pak” Setelah melepas jas hujan. Pak pos pun masuk, badannya yang sedari tadi kehujanan menggigil kedinginan. Pak Zaid buru-buru menawarkan roti kepada pak pos, roti yang sedianya untuk Tuhan itu. Tak hanya itu, pak Zaid pun melengkapinya dengan membuat secangkir teh hangat lalu disuguhkannya dengan santun dan ramah buat pak pos. pak pos pun tidak canggung menikmati hidangan itu dengan lahap. Tak beberapa lama, hujan pun reda. Pak pos pun pamit, tak lupa pak pos menyampaikan banyak terima kasih atas sambutannya yang sangat ramah dan hidangannya yang nikmat. Ia merasa amat tersanjung dengan semua itu, ia juga mendoakan agar pak Zaid semoga pak Zaid diberi kesehatan, diberi rizki yang melimpah dan diberi keluarga yang bahagia”. Pak pos diantarnya sampai di depan pintu gerbang dan ditunggu sampai pak pos menaiki sepeda meninggalkannya. Belum sempat masuk, terdengar suara memanggilnya ‘Pak pak.... tolong pak” Dilihatnya tempat di mana arah suara itu datang. Ternyata ada anak kecil yang kelelahan. “Ada yang bisa Om bantu nak?” “Pak, Saya mau pulang tapi saya lupa jalannya pak”. “Oh gitu ya, rumah kamu di mana?”, “Tidak tau pak”. “rumahmu warna apa?” “Warna putih di depan rumah ada pohon sawo besar pak”. “Nama bapak kamu siapa?” “Pak Hasan”. “Orangnya seperti apa ya?” orangnya gemuk, kulitnya hitam”. “Ya ya, sebentar om ambil motor dulu ya” jawab pak Zaid pura-pura kenal untuk menghibur anak itu. Didudukannya anak itu di sebelah depannya. Mulailah dia menyusuri jalan dan setiap ada gang, dia berhenti dan bertanya kepada anak itu “Apakah rumahmu ada di gang ini?” “Tidak pak”. Lalu dia melaju lagi dan setiap ada gang, berhenti lagi dan bertanya lagi. Begitu seterusnya sampai hampir 17 gang sudah dilaluinya, akhirnya alhamdulillah ketemu juga. Setelah ketemu dan menyerahkan anak itu kepada pak Hasan, bapak dari anak itu, pak zaid buru-buru pamit pulang, mengingat akan ada tamu agung yang mau datang ke rumahnya. Pak Hasan menyampaikan banyak terima kasih atas kebaikan pak Zaid mengantarkan anaknya pulang dan berpesan agar hati-hati di jalan dan mendoakan semoga pak Zaid selamat sampai rumah serta mendoakan semoga pak Zaid diberi kesehatan, kelapangan rizki dan kebahagiaan dalam keluarganya. Kira-kira 150 meter lagi sampai rumah, pak Zaid melihat kemuruman orang di depan rumahnya, “Tuhan telah datang” soraknya dalam hati senang gembira. Sesampainya di rumah ternyata ada dua orang yang sedang mengerang kesakitan. “Tadi kecelakaan, maunya menghindari tabrakan malah sama-sama masuk got di depan rumah pak” kata salah seorang menceritakan kejadiannya. Pak Zaid pun segera mengambil ember diisinya dengan air dan diraihnya lap dan kotak P3K. dengan cekatan pak Zaid mengelap darah dan kotoran yang menempel di tubuh pasien lalu diberi tindakan pengobtan pertama dengan peralatan dan perlengkapan yang ada. Ternyata sakitnya ringan, ada sedikit memar dan lecet-lecet. Setelah semua selesai, cepat-cepat Pak Zaid mengambilkan roti dan memebuatkan teh anget untuk kedua pasien tersebut. Setelah berbincang-bincang sebentar, kedua pasien merasa sudah enakan, pamit pulang. Mereka menyampaikan banyak terima kasih atas pertolongan dan hidangannya. Dan mendoakan agar pak Zaid diberi kesehatan, kelapangan rizki dan berbahagia dalam berumah tangga. Sepulang dua pasien tadi, Pak Zaid rebahan di kursi ruang tamu untuk melepaskan rasa capek dan ngantuk yang sejak jam 2 dini hari belum sempat istirahat. Jam di dinding menunjukan angka 8, belum lama rebahan, pak Zaid tertidur. Begitu pulas tidurnya sampai mendengkur. Tiba-tiba terbangun. Dilihatnya jam yang melingkar di tangan kirinya menunjukan angka 11. Keadaan sunyi sepi, Pak Zaid terduduk lesu, sedih menyesali kenapa tadi harus rebahan segala ya? sehingga dia tertidur pulas. Masak saya sudah diberi tau kalau Tuhan mau datang, eh malah saya tinggal tidur. “Jangan-jangan tadi Tuhan sudah datang mengetuk-ngetuk pintu rumah tapi saya tidak dengar, kemudian pulang lagi ya?” tanyanya dalam hati. Dalam keadaan sedih dan menyesal yang amat dalam ini, pak Zaid tertidur lagi. Dia bermimpi lagi. Dalam mimpinya kali ini, dia kembali didatangi oleh orang yang berpakaian serba putih dan mempunyai dua sayap terbang menghampirinya, malaikat ini yang datang kemarin malam. “Hai Zaid. Tuhan menyampaikan banyak terima kasih kepadamu. Ketika Tuhan datang dalam keadaan kedinginan dan kelaparan, kamu beri tempat berteduh dan makanan. Ketika Tuhan datang kepadamu dalam keadaan tersesat, kamu antarkan pulang. Ketika Tuhan datang dalam keadaan sakit. Kamu beri pertolongan dan obat. Hai Zaid. Tuhan akan memberimu kesehatan yang prima, Tuhan akan memberimu kelapangan rizki dan Tuahan akan membahagiakan kehidupan rumah tanggamu” selesai menyampaikan pesan itu, malaikat tersebut terbang ke langit lagi. Pesan dari cerita di atas menyatakan bahwa; 1. Dalam berbuat apa pun bentuknya, entah itu yang bersifat menolong atau yang bersifat profesi, seperti dagang, bekerja di kantor, jasa, bertani, melaut dan sebagainya itu sebaiknya dilakukan dengan sebagus mungkin, dan kita dedikasikan perbuatan kita itu semata-mata buat Alloh saja. Kita persembahkan semua perbuatan baik kita itu hanya untuk Alloh semata. 2. Biasakan mengerjakan sesuatu yang dianggap sepele atau remah dengan sepenuh hati. Agar kita menjadi lebih serius dalam mengerjakan sesuatu yang dianggap berharga atau dianggap besar. Karena orang itu disebut orang besar adalah sebab dia mampu mengerjakan sesuatu yang besar dengan baik. Insyaa Alloh kalau kita terbiasa mengerjakan perkerjaan yang sepele atau remeh dengan sepenuh hati, pada saatnya nanti Alloh akan berikan pekerjaan besar dan berharga kepada kita agar hanya kita yang bisa menyelesaikannya. Aamiin. Semoga kita diberi hidup yang bahagia dunia dan akhirat. Aamiin 0852-2580-5657

.. selengkapnya ..!