Jumat, 21 Oktober 2022

AL ASHR

Wal Ashr Innal insaana lafii khusr, illal aldzdiina aamanuu wa amilushshoolihaati watawaashou bil haqqi watawaashou bish shobr Demi masa, sesungguhnya manusia itu sungguh dalam keadaan rugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dan saling mewasiati dalam kebenaran dan saling mewasiati dalam kesabaran. Bunyi ayat pertama surat Al Ashr adalah Wal `Ashri, wawu yang digunakan dalam permulaan ayat pada surat al Ashr ini adalah wawu qosam. Yakni kata sumpah yang biasa diartikan “demi”. Hampir semua nama waktu dipakai untuk bersumpah oleh Alloh, Seperti demi malam (wallaili), demi subuh (was shubhi), demi dhuha (wadhdhuha), demi waktu siang (Wannahari), demi waktu fajar (walfajri). Untuk apa Alloh bersumpah menggunakan nama makhluk-Nya? Hikmahnya antara lain bahwa nama yang dijadikan sumpah oleh Alloh itu adalah sesuatu yang penting untuk direnungkan, dilteliti, diamati, diperhatikan oleh manusia. Khusus untuk waktu asar ini coba kita cek berapa lama waktunya? Rata-rata dua jam 40 menit. Sebentar lagi matahari terbenam, hari jadi gelap. Waktu asar adalah waktu transisi/perpindahan dari terangnya siang berganti gelapnya malam. Peristiwa alam ini mengingatkan kita pada kehidupan manusia yang sebentar lagi mati, hidup cuma sebentar namun mengemban tanggung jawab yang besar dan panjang waktunya. Inna al insaana lafii khusr. Penggunaan alif dan lam pada kata al insaan menunjukan bahwa kata tersebut termasuk isim makrifat (definitive) yang berarti terbatas hanya pada manusia tertentu saja. Yakni manusia yang mukalaf saja. Jadi setiap manusia yang mukalaf, baik itu kaya atau miskin, yang tua atau yang muda, yang pinter atau yang bodoh, yang kota atau yan desa, yang kulit putih atau yang kulit hitam, yang pria atau yang wanita, yang utuh maupun yang cacat, yang tinggi atau yang pendek semuanya tercakup dalam kata tersebut. Sementara kata khusr tidak menggunakan alif lam, kata ini termasuk isim nakiroh (indefinitive ) yang berarti tak tertabatas pada kerugian tertentu saja. Akan tetapi semua jenis kerugian masuk dalam kategori ini, baik kerugian materiil ataupun moril, kerugian lahir atau pun batin. Jadi dalam surat al Ashr itu ada pembatasan pada kreteria manusianya, yang masih belum mukalaf tidak masuk begitu juga orang gila juga tidak masuk. Tapi kerugiannya tanpa batas, artinya berbagai macam jenis kerugian akan dialami oleh manusia. Timbul pernyataan kalau begitu lebih baik gila saja biar tidak akan mengalami kerugian?? Tunggu dulu, kalau gilanya itu sebelum mukallaf ya tidak ada tanggung jawab, atau sejak ia gila sampai ia mati juga tidak diminta tanggung jawab, tapi kalau gilanya itu setelah ia mukallaf, maka pada rentang waktu antara ia masuk mukalaf sampai ia gila itu ia tetap akan diminta tanggung jawabnya. Jadi kalau Anda yang sekarang ini sudah mukalaf terus ingin menghindar dari kerugian dengan cara anda menjadi gila itu adalah kesalahan besar. Karena tuntutan akan tetap ada. Solusinya bukan bagaimana menjadi gila tetapi bagaimana agar tidak mengalami kerugian itu, setidaknya meminimalisir kerugian. Caranya ada dalam kelanjutan ayat surat Al Ashr ini. Illal ladziina aamnuu wa ammilush shoolihaati wa tawaashou bil haqqi wa tawaashou bis shobr. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dan saling mewasiati dalam kebenaran dan saling mewasiati dalam kesabaran. 1. Orang-orang yang beriman. Artinya beriman kepada Alloh swt dengan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain, beriman kepada malaikat- malaikat Alloh, beriman kepada kitab-kitab-Nya, beriman kepada utusan-utusan-Nya, beriman kepada hari akhir dan beriman kepada qodlo dan qodar Alloh swt. 2. Beramal sholih, artinya mentaati perintah-perintah Alloh dan mengikuti sunah-sunah Rosul-Nya. Baik dalam urusan ibadah, bermasyarakat, berdagang, bertani atau yang bersifat pribadi seperti cara makan, cara minum, cara tidur, cara berpakaian, cara berkeluarga, cara mendidik anak dan lainya. 3. Saling mewasiati dalam kebenaran. Kata yang digunakan bukan tanaashohuu yaitu saling menasehati tapi tawaashou saling mewasiati. Apa bedanya? Kalau menasehati itu masih ada kesan boleh tidak dipatuhi. Kalau mewasiati itu ada kesan wajib dilaksanakan. Mewasiati kebenaran itu berarti amar makruf. Nabi bersabda ”Amar makruf ummul hasanaati”, amar makruf/memerintahkan yang baik itu induknya kebaikan. Dengan amar makruf itu akan tersebar kebaikan di mana-mana. Kata “saling” dalam mewasiati ini menunjukan adanya orang lain dengan kata lain sebaiknya amar makruf ini dilakukan secara berjamaah. Karena dengan dilaksanakan secara berjamaah akan menimbulkan kesan yang sugestif dan secara intern akan saling menguatkan dalam menjalankannya. 4. Saling mewasiati dalam kesabaran. Kalimat ini berkaitan erat dengan kalimat sebelumnya. Dalam mewasiati kebenaran itu sering juga mendapat perlawanan, permusuhan, penghinaan, fitnahan dan seterusnya, sehingga butuh saudara yang memberi wasiat kesabaran. Agar tidak patah arang dalam menegakkan kebenaran, agar tidak emosi ketika difitnah atau dihina, dicemooh dalam menyampaikan kebenaran. Agar tidak terbawa arus oleh olok-olokan dan adu domba. Kesimpulan : 1. Bahwa kita harus cermat menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya. 2. Hidup di dunia ini hanya sebentar, sementara hidup di akhirat itu selama-lamanya, agar tidak merugi ketika kita di akhirat, maka kita harus mempunyai bekal iman, amal sholeh, amar makruf nahi mungkar. 3. Amar makruf adalah induk kebaikan, maka upayakan agar kita dapat melakukan dengan bijaksana dan berjamaah. 4. Memberi dukungan moril terhadap saudara yang sedang mendapat ujian atau musibah adalah penting, agar saudara kita tidak mudah patah arang, tidak lemah dan tidak merasa sendiri sehingga tidak mudah terbawa arus dalam hinaan dan adu domba. Demikian, semoga kita sukses dan bahagia di dunia dan di akhirat. Aamiin 0852-2580-5657

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda