Mengapa Merasa Diri Suci Itu Dilarang?
Bismillaahir rohmaanir rohiim
Konon di hari kiamat nanti, di depan mahkamah akhirat, ada
seorang peternak sapi yang diadili secara bersama dengan seorang kiai,
kebetulan antara keduanya mereka mati hampir secara bersamaan pada sebuah kampung yang sama pula.
Setelah menimbang prestasi dan seluruh karya-karyanya. Tuhan
tersenyum kepada sang peternak sapi lalu bersabda “Bagus sekali karyamu di
dunia wahai peternak. Kamu pantas mendapat surga dengan nomor 424”. Lalu
diisyaratkan kepada dua malaikat yang sedang piket untuk membimbingnya menuju surga
di lantai 4 kamar 24.
Kiai yang antri persis di belakang sang peternak sapi itu
heran. “Bagaimana mungkin sang peternak sapi yang cuma ke masjid seminggu
sekali, dan itu pun datangnya selalu terlambat, kok bisa masuk surge lantai 4?
Protesnya dalam hati. Kiai segera sadar bahwa Allah memang maha pemurah. Rasa
herannya berubah menjadi senang. Dalam hatinya terbesit keyakinan bahwa dia
akan mendapat kamar yang lebih bagus dibandingkan dengan si peternak sapi itu.
Dalam setiap mengawali persidangan terhadap orang yang baik,
Allah selalu mengawali dengan tersenyum. “wahai Kiai, karyamu bagus sekali,
layak bagi kamu menempati surge dengan nomor 425” sang kiai kaget dan lansung protes.
“Mohon periksa wahai Allah. Tidakkah Engkau salah menilai? Bukankah si peternak
itu kerjanya hanya merumput, memandikan sapi, memerah susu, menjualnya ke
pasar? Setiap kerjanya hanya itu-itu saja. Mana pernah ia berpuasa untuk
memulyakan Engkau. Berdoa hanya sesempatnya saja, itu pun selalu dilakukannya
dengan ngebut. Toh Engkau di latai 4? Sedang saya, tolong lihat saya Allah,
tiap hari dari mulai terbit matahari sampai gelap malam, kerjaku selalu berdoa
kepada Engkau, berpuasa, melayani dan memulyakan Engkau. Pantaskah kedudukan
hamba disamakan si peternak itudi surga ini?”
Karena Allah maha adil, diberikanlah kesempatan bagi sang
kiai itu membuktikan ucapannya itu.
Allah menurunkan kembali ke dunia untuk hidup sebagai peternak sapi,
bukan sebagai kiai lagi. Tiap hari ia bekerja merumput, memandikan sapi
,memerah susu dan menjualnya. Begitulah dari hari ke hari terus menerus begitu.
Selang empat bulan, Allah mengutus seorang Malaikat untuk
menemui dan menegurnya. “Wahai peternak
sapi yang rajin, mengapa sudah beberapa bulan ini, engkau tidak pernah berdoa
dan berpuasa untuk Allah?” tegur malaikat kepada mantan kiai itu di sela-sela
kesibukan kerjanya.
“Mana sempat? Setiap saya selalu sibuk mengurus sapi-sapi
ini. Mana sapinya bandel-badel lagi. Lagian di tempat yang kotor lagi bau
begini mana bisa saya berdoa dengan baik?
Bagaimana saya mau puasa untuk mengagungkan Allah? Kerjaan saya ini menuntut
tenaga dan waktu saya yang begitu banyak, mana bisa kuat berpuasa? ….. Sang
kiai itu terus nerocos. Malaikat memotong kalimat sang mantan kiai itu.
“Nah, Allah nggak salah kan ketika Allah menempatkan sang
peternak sapi yang kamu protes itu di samping kamar surgamu? Karena tugas
sucinya adalah menjadi peternak sapi. Dia menjalankan tugas dengan baik. Dan
dia berhasil di mata Tuhan. Sedang kamu, tugasmu menjadi kiai, kamu senang
mengerjakannya dan berhasil. Bila tugasmu
diganti dengan dijadikan-Nya kamu sebagai peternak sapi, kamu menderita,
tugas-tugasmu kurang optimal dan gagal di mata Tuhan” jelas utusan Allah itu
menutup ceramahnya. Sang mantan kiai itu mengalami pencerahan, ia menerima
dengan senang hati keputusan Allah yang menempatnya di kamar 425 tanpa protes
lagi.
Cerita karikatural ini memudahkan pemahaman kita bahwa merasa
diri suci karena kita merasa telah beribadah lebih banyak dibandingkan dengan orang
lain adalah sesuatu kekeliruan. Kita dilarang merasa diri suci karena yang
demikian dapat membuat kita mudah protes kepada Allah. Padahal protes kepada
Allah itu sesungguhnya adalah akibat kebodohan kita. Kita berpikir hanya berdasarkan
pengetahuan yang kita miliki dan itu pun amat terbatas. Ilmu yang amat banyak
dan informasi yang terus mengalir itu hanya sedikit yang dapat kita serap. Kita
hanya tahu apa yang kita lihat, kita dengar dan apa yang kita baca. Sementara
kejadian di luar yang tidak dapat kita lihat, tidak dapat kita dengar itu jauh
lebih banyak dari apa yang dapat kita lihat dan kita dengar.
Protes kepada Allah itu merupakan sesuatu yang tidak sopan
lagi bodoh. Ibarat anak TK memprotes ayahnya yang bijaksana karena melarang
anaknya mengendarai mobil sendiri di jalan umum. Oleh karena itu, protes kepada
Allah harus dihindari. Penyebab protesnya manusia kepada Allah itu antara lain
adalah dikarenakan kita merasa diri suci dibandingkan dengan orang lain.
Demikian. Semoga bermanfaat. Amin.
Salam Sukses Bahagia
By Nur Muhid
Ingin Umroh? Ada kendala biaya?
Silakan kontak 0852 2580 5657
Label: akhirat, doa, hamba, kiai, kiamat, puasa, surga, terbit
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda