Rabu, 22 April 2015

Mengapa Merasa Diri Suci Itu Dilarang?

Bismillaahir rohmaanir rohiim
Konon di hari kiamat nanti, di depan mahkamah akhirat, ada seorang peternak sapi yang diadili secara bersama dengan seorang kiai, kebetulan antara keduanya mereka mati hampir secara bersamaan  pada sebuah kampung yang sama pula.
Setelah menimbang prestasi dan seluruh karya-karyanya. Tuhan tersenyum kepada sang peternak sapi lalu bersabda “Bagus sekali karyamu di dunia wahai peternak. Kamu pantas mendapat surga dengan nomor 424”. Lalu diisyaratkan kepada dua malaikat yang sedang piket untuk membimbingnya menuju surga di lantai 4 kamar 24.

Kiai yang antri persis di belakang sang peternak sapi itu heran. “Bagaimana mungkin sang peternak sapi yang cuma ke masjid seminggu sekali, dan itu pun datangnya selalu terlambat, kok bisa masuk surge lantai 4? Protesnya dalam hati. Kiai segera sadar bahwa Allah memang maha pemurah. Rasa herannya berubah menjadi senang. Dalam hatinya terbesit keyakinan bahwa dia akan mendapat kamar yang lebih bagus dibandingkan dengan si peternak sapi itu.
Dalam setiap mengawali persidangan terhadap orang yang baik, Allah selalu mengawali dengan tersenyum. “wahai Kiai, karyamu bagus sekali, layak bagi kamu menempati surge dengan nomor 425” sang kiai kaget dan lansung protes. “Mohon periksa wahai Allah. Tidakkah Engkau salah menilai? Bukankah si peternak itu kerjanya hanya merumput, memandikan sapi, memerah susu, menjualnya ke pasar? Setiap kerjanya hanya itu-itu saja. Mana pernah ia berpuasa untuk memulyakan Engkau. Berdoa hanya sesempatnya saja, itu pun selalu dilakukannya dengan ngebut. Toh Engkau di latai 4? Sedang saya, tolong lihat saya Allah, tiap hari dari mulai terbit matahari sampai gelap malam, kerjaku selalu berdoa kepada Engkau, berpuasa, melayani dan memulyakan Engkau. Pantaskah kedudukan hamba disamakan si peternak itudi surga ini?”
Karena Allah maha adil, diberikanlah kesempatan bagi sang kiai itu membuktikan ucapannya itu.  Allah menurunkan kembali ke dunia untuk hidup sebagai peternak sapi, bukan sebagai kiai lagi. Tiap hari ia bekerja merumput, memandikan sapi ,memerah susu dan menjualnya. Begitulah dari hari ke hari terus menerus begitu.
Selang empat bulan, Allah mengutus seorang Malaikat untuk menemui  dan menegurnya. “Wahai peternak sapi yang rajin, mengapa sudah beberapa bulan ini, engkau tidak pernah berdoa dan berpuasa untuk Allah?” tegur malaikat kepada mantan kiai itu di sela-sela kesibukan kerjanya.
“Mana sempat? Setiap saya selalu sibuk mengurus sapi-sapi ini. Mana sapinya bandel-badel lagi. Lagian di tempat yang kotor lagi bau begini mana bisa saya berdoa dengan baik?  Bagaimana saya mau puasa untuk mengagungkan Allah? Kerjaan saya ini menuntut tenaga dan waktu saya yang begitu banyak, mana bisa kuat berpuasa? ….. Sang kiai itu terus nerocos. Malaikat memotong kalimat sang mantan kiai itu.
“Nah, Allah nggak salah kan ketika Allah menempatkan sang peternak sapi yang kamu protes itu di samping kamar surgamu? Karena tugas sucinya adalah menjadi peternak sapi. Dia menjalankan tugas dengan baik. Dan dia berhasil di mata Tuhan. Sedang kamu, tugasmu menjadi kiai, kamu senang mengerjakannya dan berhasil. Bila tugasmu  diganti dengan dijadikan-Nya kamu sebagai peternak sapi, kamu menderita, tugas-tugasmu kurang optimal dan gagal di mata Tuhan” jelas utusan Allah itu menutup ceramahnya. Sang mantan kiai itu mengalami pencerahan, ia menerima dengan senang hati keputusan Allah yang menempatnya di kamar 425 tanpa protes lagi.
Cerita karikatural ini memudahkan pemahaman kita bahwa merasa diri suci karena kita merasa telah beribadah lebih banyak dibandingkan dengan orang lain adalah sesuatu kekeliruan. Kita dilarang merasa diri suci karena yang demikian dapat membuat kita mudah protes kepada Allah. Padahal protes kepada Allah itu sesungguhnya adalah akibat kebodohan kita. Kita berpikir hanya berdasarkan pengetahuan yang kita miliki dan itu pun amat terbatas. Ilmu yang amat banyak dan informasi yang terus mengalir itu hanya sedikit yang dapat kita serap. Kita hanya tahu apa yang kita lihat, kita dengar dan apa yang kita baca. Sementara kejadian di luar yang tidak dapat kita lihat, tidak dapat kita dengar itu jauh lebih banyak dari apa yang dapat kita lihat dan kita dengar.
Protes kepada Allah itu merupakan sesuatu yang tidak sopan lagi bodoh. Ibarat anak TK memprotes ayahnya yang bijaksana karena melarang anaknya mengendarai mobil sendiri di jalan umum. Oleh karena itu, protes kepada Allah harus dihindari. Penyebab protesnya manusia kepada Allah itu antara lain adalah dikarenakan kita merasa diri suci dibandingkan dengan orang lain.
Demikian. Semoga bermanfaat. Amin.
Salam Sukses Bahagia
By Nur Muhid 
Ingin Umroh? Ada kendala biaya? 
Silakan kontak 0852 2580 5657


Label: , , , , , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda