Membaca fenomena Alam
Bismillaahir
rohmaaanir rohiim
Fenomena
alam yang terjadi dan menjadi bagian dari realitas hidup kita hari ini,
menunjukkan wajah ‘kurang bersahabat’. Berbagai berita mengabarkan tentang
‘amuk alam’ yang melanda beberapa wilayah di Negeri ini. Barangkali, tidak
perlu jauh mencari bukti, sebab masing-masing kita juga menyadari kenyataan ini
di sekeliling kita, meski dengan intensitas yang berbeda. Prediksi tentang alam
yang dulu terpercaya untuk dijadikan patokan, kini seolah ‘mandul’ dan tak meyakinkan.
Dalam
kacamata ilmu alam, barangkali fenomena ini adalah keniscayaan dari ‘rusaknya’
ekosistem dunia. Rusak dalam arti tidak lagi berfungsinya beberapa elemen alam,
baik karena ‘rusak’ atau malah justru karena telah hancur. Rusak atau hancurnya
unsur-unsur ini, tentu tak lain adalah hasil ulah tangan manusia. Al-Qur’an
sendiri jauh hari telah memberikan prediksi akan hal ini. Allah berfirman dalam
QS ar-Rum ayat 41, yang artinya: “ Telah
jelas kerusakan di daratan dan lautan oleh karena ulah tangan manusia supaya
mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali”.
Ayat
di atas secara tegas menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi di alam semesta
ini tak lain adalah hasil olah tangan manusia, sebagai khalifah di bumi. Oleh
karena itu, mana kala kita hendak memperbaiki alam, maka hal terpenting adalah
memperbaiki penghuni sekaligus penguasanya yaitu manusia. Dalam konteks ini,
pemahaman manusia terhadap alam dan kaitannya dengan agama perlu dikaji ulang.
Artinya, perlu semacam ‘pembacaan’ ulang tentang pemahaman keagamaan yang
selama ini ada. Kita melihat bahwa pemahaman agama kerap tidak dikaitkan dengan
persoalan realitas duniawi, dan cenderung hanya berorientasi ukhrawi. Salah
satunya adalah pemahaman terhadap pemahaman hukum Islam.
Dalam
hukum, misalnya, kita mengenal istilah fardlu ‘ain dan fardlu kifayah. Yang
pertama adalah nilai kewajiban yang sifatnya personal dalam arti menjadi
keawajiban individual. Oleh karena itu, meninggalkan atau melaksanakannya hanya
terkait dengan seseorang secara pribadi. Tidak ada kaitan yang bersifat
langsung dengan orang lain. sedangkan fardlu kifayah adalah kewajiban kolektif dalam
arti menjadi tanggungjawab secara bersama-sama bagi sebuah komunitas masyarakat
yang terkena beban hukum. Oleh karenanya, melakukan atau meninggalkannya akan
berdampak kepada masyarakat secara massif, tanpa pandang bulu. Cotoh ini bisa
kita lihat dalam, misalnya, kewajiban shalat jenazah. Antara dua kewajiban ini,
kita seringkali mengunggulkan fardlu ‘ain dan mengesampingkan fardlu kifayah.
Pemahaman
ini sesungguhnya perlu mendapat perhatian, karena: (i) tidak adanya sudut
pandang yang seimbang antara kedua jenis fardlu tersebut, padahal keduanya
memiliki konsekuensi yang sama dalam arti terdapat pahala dan siksa. Bahkan,
(ii) kewajiban kifayah sejatinya memiliki dampak yang lebih luas manakala
ditinggalkan, dan karenanya semestinya mendapat prioritas dari umat. Dalam
sudut pandang terkahir ini, persoalan menjaga, melestarikan dan bahkan
mengembangkan alam perlu mendapat perhatian. Artinya, jika dilihat dari sudut
pandang strata kewajiban di atas, upaya menjaga alam berada pada level fardlu
kifayah, karenanya, ia menjadi kewajiban kolektif, yang harus dipikirkan dan
dilaksanakan secara kolektif. Dengan melaksanakannya, siapapun itu, berarti
komunitas masyarakat akan terbebas dari dosa sosial, tetapi dengan meninggalkan
dan ‘melupakannya’ berarti masyarakat akan terkena dampak dosa sosial. Dosa
sosial dalam konteks ini tentu dapat berupa bencana alam dalam segala bentuknya.
Lebih jauh, dampak ini tidak hanya mengenai mereka yang ‘melanggar’ fardlu
kifayah tersebut, namun juga dirasakan oleh semua orang, tanpa pandang bulu. Beragam
bencana yang muncul dan menghampiri kita hari ini, tentu tak lain adalah akibat
kelalaian kita dalam menjalankan fardlu kifayah berupa menjaga kelestarian alam
tersebut.
Lebih
penting lagi, manakala kita hendak memperbaiki kesalahan dan terbebas dari
‘dosa’ ini, kita mesti melakukan taubat. Taubat dalam konteks makna ini tentu
tidak cukup hanya dengan melantunkan kalimat istighfar dan kalimat thoyyibah
lainnya. Namun, taubat dalam konteks ini harus dimaknai sebagai upaya kita
untuk kembali menyadarkan diri kita bahwa alam memiliki peran amat penting bagi
kehidupan manusia. Selanjutnya, kesadaran ini harus diwujudkan dalam laku amal
nyata berupa melakukan peremajaan (reboisasi) alam dengan segala aspek di
dalamnya. Dan, tentu sebagaimana layaknya taubatan nasuha, maka taubat kita
dalam bentuk ini juga harus disertai dengan ikrar dan janji suci untuk tidak
kembali ‘menggunduli alam’ dengan semena-mena. Jika ini tidak kita lakukan,
maka siklus dosa sosial akan terulang dalam bentuk bencana, dan demikian
seterusnya. Namun, jika taubatan nasuha ini kita lakukan dengan amal nyata dan
ikrar suci nan setia, insya Allah alam akan kembali bersahabat dan tersenyum
dengan indahnya. S’moga!
Oleh: Fa-Hiem.
Salam Sukses Bahagia
Ingin
Umroh??? Ada kendala biaya??? Mau kerja sampingan???
Silakan
kontak 0852 2580 5657
Label: akibat, alam, darat, ekosistem, fenomena, laut, mandul
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda