Jumat, 27 Maret 2015

Membaca fenomena Alam

Bismillaahir rohmaaanir rohiim
Fenomena alam yang terjadi dan menjadi bagian dari realitas hidup kita hari ini, menunjukkan wajah ‘kurang bersahabat’. Berbagai berita mengabarkan tentang ‘amuk alam’ yang melanda beberapa wilayah di Negeri ini. Barangkali, tidak perlu jauh mencari bukti, sebab masing-masing kita juga menyadari kenyataan ini di sekeliling kita, meski dengan intensitas yang berbeda. Prediksi tentang alam yang dulu terpercaya untuk dijadikan patokan, kini seolah ‘mandul’ dan tak meyakinkan.

Dalam kacamata ilmu alam, barangkali fenomena ini adalah keniscayaan dari ‘rusaknya’ ekosistem dunia. Rusak dalam arti tidak lagi berfungsinya beberapa elemen alam, baik karena ‘rusak’ atau malah justru karena telah hancur. Rusak atau hancurnya unsur-unsur ini, tentu tak lain adalah hasil ulah tangan manusia. Al-Qur’an sendiri jauh hari telah memberikan prediksi akan hal ini. Allah berfirman dalam QS  ar-Rum ayat 41, yang artinya: “ Telah jelas kerusakan di daratan dan lautan oleh karena ulah tangan manusia supaya mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali”.
Ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi di alam semesta ini tak lain adalah hasil olah tangan manusia, sebagai khalifah di bumi. Oleh karena itu, mana kala kita hendak memperbaiki alam, maka hal terpenting adalah memperbaiki penghuni sekaligus penguasanya yaitu manusia. Dalam konteks ini, pemahaman manusia terhadap alam dan kaitannya dengan agama perlu dikaji ulang. Artinya, perlu semacam ‘pembacaan’ ulang tentang pemahaman keagamaan yang selama ini ada. Kita melihat bahwa pemahaman agama kerap tidak dikaitkan dengan persoalan realitas duniawi, dan cenderung hanya berorientasi ukhrawi. Salah satunya adalah pemahaman terhadap pemahaman hukum Islam.
Dalam hukum, misalnya, kita mengenal istilah fardlu ‘ain dan fardlu kifayah. Yang pertama adalah nilai kewajiban yang sifatnya personal dalam arti menjadi keawajiban individual. Oleh karena itu, meninggalkan atau melaksanakannya hanya terkait dengan seseorang secara pribadi. Tidak ada kaitan yang bersifat langsung dengan orang lain. sedangkan fardlu kifayah adalah kewajiban kolektif dalam arti menjadi tanggungjawab secara bersama-sama bagi sebuah komunitas masyarakat yang terkena beban hukum. Oleh karenanya, melakukan atau meninggalkannya akan berdampak kepada masyarakat secara massif, tanpa pandang bulu. Cotoh ini bisa kita lihat dalam, misalnya, kewajiban shalat jenazah. Antara dua kewajiban ini, kita seringkali mengunggulkan fardlu ‘ain dan mengesampingkan fardlu kifayah.
Pemahaman ini sesungguhnya perlu mendapat perhatian, karena: (i) tidak adanya sudut pandang yang seimbang antara kedua jenis fardlu tersebut, padahal keduanya memiliki konsekuensi yang sama dalam arti terdapat pahala dan siksa. Bahkan, (ii) kewajiban kifayah sejatinya memiliki dampak yang lebih luas manakala ditinggalkan, dan karenanya semestinya mendapat prioritas dari umat. Dalam sudut pandang terkahir ini, persoalan menjaga, melestarikan dan bahkan mengembangkan alam perlu mendapat perhatian. Artinya, jika dilihat dari sudut pandang strata kewajiban di atas, upaya menjaga alam berada pada level fardlu kifayah, karenanya, ia menjadi kewajiban kolektif, yang harus dipikirkan dan dilaksanakan secara kolektif. Dengan melaksanakannya, siapapun itu, berarti komunitas masyarakat akan terbebas dari dosa sosial, tetapi dengan meninggalkan dan ‘melupakannya’ berarti masyarakat akan terkena dampak dosa sosial. Dosa sosial dalam konteks ini tentu dapat berupa bencana alam dalam segala bentuknya. Lebih jauh, dampak ini tidak hanya mengenai mereka yang ‘melanggar’ fardlu kifayah tersebut, namun juga dirasakan oleh semua orang, tanpa pandang bulu. Beragam bencana yang muncul dan menghampiri kita hari ini, tentu tak lain adalah akibat kelalaian kita dalam menjalankan fardlu kifayah berupa menjaga kelestarian alam tersebut.
Lebih penting lagi, manakala kita hendak memperbaiki kesalahan dan terbebas dari ‘dosa’ ini, kita mesti melakukan taubat. Taubat dalam konteks makna ini tentu tidak cukup hanya dengan melantunkan kalimat istighfar dan kalimat thoyyibah lainnya. Namun, taubat dalam konteks ini harus dimaknai sebagai upaya kita untuk kembali menyadarkan diri kita bahwa alam memiliki peran amat penting bagi kehidupan manusia. Selanjutnya, kesadaran ini harus diwujudkan dalam laku amal nyata berupa melakukan peremajaan (reboisasi) alam dengan segala aspek di dalamnya. Dan, tentu sebagaimana layaknya taubatan nasuha, maka taubat kita dalam bentuk ini juga harus disertai dengan ikrar dan janji suci untuk tidak kembali ‘menggunduli alam’ dengan semena-mena. Jika ini tidak kita lakukan, maka siklus dosa sosial akan terulang dalam bentuk bencana, dan demikian seterusnya. Namun, jika taubatan nasuha ini kita lakukan dengan amal nyata dan ikrar suci nan setia, insya Allah alam akan kembali bersahabat dan tersenyum dengan indahnya. S’moga!
Oleh: Fa-Hiem.
Salam Sukses Bahagia
Ingin Umroh??? Ada kendala biaya??? Mau kerja sampingan???
Silakan kontak  0852 2580 5657

Label: , , , , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda