Memahami makna mukmin
Perbandingan kedua golongan itu
(orang-orang kafir dan mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang
dapat melihat dan dapat mendengar (QS. Hud: 34).
Al-Qur’an
menggambarkan bagaimana sifat mukmin dan mengumpamakannya sebagai orang yang
memiliki panca indera dan mampu menggunakannya sebagaimana mestinya. Ayat di
atas memberikan informasi bagaimana
perbandingan antara orang yang beriman dengan mereka yang ingkar. Secara
gamblang dan jelas al-Qur’an mengilustrasikan
bahwa mukmin adalah orang yang
mampu menggunakan karunia panca inderanya sesuai dengan fungsi dan proporsinya.
Sebaliknya, orang yang ingkar laksana mereka yang tuli dan buta, dan karenanya
tidak tahu jalan kebenaran dan keselamatan.
Hal
mendasar yang mesti dipahami adalah bahwa sebagai mukmin, orang harus memiliki
kualitas untuk bisa disejajarkan dengan orang yang melihat dan mendengar, yang
karenanya ia mampu membedakan mana yang baik dan buruk, membedakan aneka warna
kehidupan, dan memilih yang terbaik diantaranya, serta beramal dan menjalankan
pilihan terbaik tersebut.
Allah menandaskan bahwa orang mukmin adalah
mereka yang beriman dan beramala Shalih. Dua laku ini sejatinya mewakili ranah
batin dan lahir. Beriman dalam arti yang sesungguhnya, yaitu meyakini dengan
keyakinan paripurna, bergantung hanya kepada-Nya semata, menyerahkan segala
persoalan dalam genggaman kasih-Nya, dan menafikan ketergantungan selain
kepada-Nya. Inilah kebenaran yang hanya sanggup dilihat oleh mereka yang beriman,
karena mereka memiliki mata hati dan ketulusan. Sedangkan ranah lahir merupakan
wujud nyata dari laku batin, dalam arti bahwa guratan-guratan suci yang
terpatri dalam hati, hendaknya mampu dibuktikan dalam kehidupan nyata yang
kasat mata. Inilah laku amal sholih. Amal sholih merupakan sesuatu yang baik,
layak, patut dan sudah ‘semestinya’. Mereka yang mampu menjalankannya dengan
kesungguhan dan ke-ikhlasan tentu merupakan cerminan orang yang dapat
menggunakan karunia Allah dengan semestinya.
Laku
amal sholih, sebagai cerminan dari kondisi hati, mestinya memancarkan aura
positif yang dapat dirasakan oleh semua, dan tidak bersifat
ekslusif-primordial. Artinya, laku amal sholih tersebut selayaknya dapat
dirasakan manfaatnya oleh semuanya, tanpa membedakan suku, bangsa, bahkan
agama. Malahan, dengan laku amal sholih, diharapkan mereka yang ingkar dapat
merasakan energy positif dari amal sholih untuk selanjutnya diharapkan dapat
mengikutinya, baik dalam ranah keimanan maupun amal sholih itu sendiri.
Inilah
cita ideal seorang mukmin, bak pohon rindang dengan buah lebat yang penuh
manfaat. Akarnya menghujam dalam hati sebagai bentuk keimanan dan perisai diri.
Daun-daunnya mamberikan kesejukan dan keindahan bagi mereka yang memandang, dan
buahnya senantiasa dirindukan dan ditunggu setiap waktu. Ia muncul, tumbuh,
berkembang dan berbuah dengan buaian sejuta senyum harapan, dari mereka yang
merindukan ketentraman dan keselamatan. Ia hadir dengan segala bentuk ketulusan
untuk menebarkan keamanan dan keselamatan. Ia tahu dan mampu menggunakan
karunia inderawi dengan semestinya, hingga mampu menapaki jalan kebenaran
sebagaimana digariskan. Ia berbeda dengan mereka yang ingkar, yang seringkali
melakukan hal-hal yang tidak benar. Laku amalnya tidak berdasar, karena mata
dan telinganya tidak berfungsi dengan benar. Mereka inilah yang perlu diajak
agar sadar, tentu dengan cara-cara yang elegan dan penuh rasa sabar. Inilah
tugas kita, orang mukmin. Beriman dengan benar, beramal dengan sadar, dan
berdakwah dengan sabar. S’moga!
Oleh: Fa-Hiem
Salam
Sukses Bahagia
Ingin
Umroh??? Ada kenda biaya??? Mau kerja sampingan???
Silakan kontak 0852 2580 5657
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda