Jumat, 13 Maret 2015

Memahami makna mukmin

Bismillaahir rohmaanir rohiim
Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar (QS. Hud: 34).
Al-Qur’an menggambarkan bagaimana sifat mukmin dan mengumpamakannya sebagai orang yang memiliki panca indera dan mampu menggunakannya sebagaimana mestinya. Ayat di atas memberikan informasi bagaimana  perbandingan antara orang yang beriman dengan mereka yang ingkar. Secara gamblang dan jelas al-Qur’an mengilustrasikan
bahwa mukmin adalah orang yang mampu menggunakan karunia panca inderanya sesuai dengan fungsi dan proporsinya. Sebaliknya, orang yang ingkar laksana mereka yang tuli dan buta, dan karenanya tidak tahu jalan kebenaran dan keselamatan.
Hal mendasar yang mesti dipahami adalah bahwa sebagai mukmin, orang harus memiliki kualitas untuk bisa disejajarkan dengan orang yang melihat dan mendengar, yang karenanya ia mampu membedakan mana yang baik dan buruk, membedakan aneka warna kehidupan, dan memilih yang terbaik diantaranya, serta beramal dan menjalankan pilihan terbaik tersebut.
 Allah menandaskan bahwa orang mukmin adalah mereka yang beriman dan beramala Shalih. Dua laku ini sejatinya mewakili ranah batin dan lahir. Beriman dalam arti yang sesungguhnya, yaitu meyakini dengan keyakinan paripurna, bergantung hanya kepada-Nya semata, menyerahkan segala persoalan dalam genggaman kasih-Nya, dan menafikan ketergantungan selain kepada-Nya. Inilah kebenaran yang hanya sanggup dilihat oleh mereka yang beriman, karena mereka memiliki mata hati dan ketulusan. Sedangkan ranah lahir merupakan wujud nyata dari laku batin, dalam arti bahwa guratan-guratan suci yang terpatri dalam hati, hendaknya mampu dibuktikan dalam kehidupan nyata yang kasat mata. Inilah laku amal sholih. Amal sholih merupakan sesuatu yang baik, layak, patut dan sudah ‘semestinya’. Mereka yang mampu menjalankannya dengan kesungguhan dan ke-ikhlasan tentu merupakan cerminan orang yang dapat menggunakan karunia Allah dengan semestinya.
Laku amal sholih, sebagai cerminan dari kondisi hati, mestinya memancarkan aura positif yang dapat dirasakan oleh semua, dan tidak bersifat ekslusif-primordial. Artinya, laku amal sholih tersebut selayaknya dapat dirasakan manfaatnya oleh semuanya, tanpa membedakan suku, bangsa, bahkan agama. Malahan, dengan laku amal sholih, diharapkan mereka yang ingkar dapat merasakan energy positif dari amal sholih untuk selanjutnya diharapkan dapat mengikutinya, baik dalam ranah keimanan maupun amal sholih itu sendiri.
Inilah cita ideal seorang mukmin, bak pohon rindang dengan buah lebat yang penuh manfaat. Akarnya menghujam dalam hati sebagai bentuk keimanan dan perisai diri. Daun-daunnya mamberikan kesejukan dan keindahan bagi mereka yang memandang, dan buahnya senantiasa dirindukan dan ditunggu setiap waktu. Ia muncul, tumbuh, berkembang dan berbuah dengan buaian sejuta senyum harapan, dari mereka yang merindukan ketentraman dan keselamatan. Ia hadir dengan segala bentuk ketulusan untuk menebarkan keamanan dan keselamatan. Ia tahu dan mampu menggunakan karunia inderawi dengan semestinya, hingga mampu menapaki jalan kebenaran sebagaimana digariskan. Ia berbeda dengan mereka yang ingkar, yang seringkali melakukan hal-hal yang tidak benar. Laku amalnya tidak berdasar, karena mata dan telinganya tidak berfungsi dengan benar. Mereka inilah yang perlu diajak agar sadar, tentu dengan cara-cara yang elegan dan penuh rasa sabar. Inilah tugas kita, orang mukmin. Beriman dengan benar, beramal dengan sadar, dan berdakwah dengan sabar. S’moga!
Oleh:  Fa-Hiem
Salam Sukses Bahagia
Ingin Umroh??? Ada kenda biaya??? Mau kerja sampingan???
Silakan kontak 0852 2580 5657

Label: , , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda