Minggu, 08 Maret 2015

Makna Dzikir

Secara bahasa, dzikir bermula dari dzakara, yadzkuru, dzukr/dzikr, merupakan perbuatan dengan lisan (menyebutkan atau menuturkan) atau dan dengan hati (mengingat/ menyebut dan mengingat). Ada yang berpendapat bahwa dzukr (bidlammi) saja yang bisa berarti pekerjaan hati dan lisan, sedang dzikr (bilkasri) khusus pekerjaan lisan.
Dalam peristilahan kata, dzikr tidak terlalu jauh pengertian-nya dengan makna-makna lughawinya semula. Bahkan kamus-kamus moderen seperti
Al-Munjid, Al-Munawir, At-Qamus al-Ashri dan sebagainya, sudah pula menggunakan pengertian-pengertian istilah seperti adz-dzikr = membaca tasbih, mengagungkan Allah dan seterusnya. Pengertian-pengertian ini semua dapat dilihat di banyak lafal dzikr yang dituturkan dalam Al-Qur'an. Bahkan seringkali pengertian dzikr (dalam berbagai shieghatnya) dalam kitab suci itu merupakan cakupan dari makna-makna lughawinya sekaligus. Dalam kitab Al-Adzkaar-nya. yang terkenal itu, Imam Nawawi (631-676 H.), menyebutkan: "Dzikir itu bisa dengan hati, bisa dengan lisan. Dan yang terbaik adalah yang dengan hati dan dengan lisan sekaligus. Kalau harus memilih antara keduanya, maka dzikir dengan hati saja lebih baik dari dzikir dengan lisan saja."
Dalam perkembangannya, dzikir kepada Allah tidak hanya dibatasi sebagai bacaan-bacaan mulia tuntunan Nabi saw. (dzikir ma'tsur) dalam waktu-waktu tertentu seperti diajarkan dalam kitab-kitab semacam Al-Adzkar-nya Imam Nawawi, Al-Ghaniyah-nyz Syekh Abdul Qadir Jaelany, Shahih al-Kalimath Thayyib li Syekh al-Islam Ibn Taimiyah-nya, Muhammad Nashiruddin Albany dan sebagainya. Namun juga diartikan sebagai "ingat Allah" dalam segala gerak tingkah laku, bahkan dalam tarikan dan hembusan nafas hamba.  Sementara itu, orang arif mengatakan, "Barangsiapa yang ketika mendapatkan kenikmatan melihat Sang Pemberi Nikmat, tidak kepada kenikmatan itu sendiri, ketika mendapat cobaan pun yang dilihat hanyalah Sang Pencoba, bukan cobaan itu sendiri. Maka dalam segala kondisi dia tenggelam dalam memperhatikan dan melihat Al-Haq, menghadap Sang Kekasih."
Sebenarnya dengan "dzikir ma'tsur" dari Rasul saw. seperti dapat dipelajari dari semisal kitab-kitab yang sudah disebutkan tadi, kiranya lebih dari cukup membuat seorang hamba — jika mengamalkan secara benar — tidak sempat berpaling dari Khaliqnya. Bayangkan, tuntunan dzikir itu mencakup dzikir sejak bangun tidur hingga akan tidur lagi. Namun barangkali masalahnya justru kesibukan manusia moderen dan kepintarannyalah yang lambat laun membuat "dzikir ma'tsur" itu seolah-olah terlupakan. Boleh jadi, mula-mula memang ada orang yang hanya komat-kamit mementingkan bacaan dzikir, tanpa penghayatan dan pengingatan maknanya. Lalu pemeluk teguh yang mcnginginkan kesempurnaan secara mubalaghah menyatakan tak ada gunanya komat-kamit saja. Kemudian orang malas ikut-ikutan bukan hanya berkata, "Ya tak ada gunanya komat-kamit saja," tapi, "Tak ada gunanya komat-kamit!"
 Semua orang yang merambah jalan Allah (Ahlu tharieq Allah) sepakat bahwa dzikir merupakan kunci pintu gerbang Allah dan pembuka sekat kegaiban, penarik kebaikan-kebaikan dan pelipur keterasingan. Ia merupakan pancaran wilayah dan pendorong kepada ma'rifat Allah. (Baca misalnya Jamharat al-Auliyaa, 1/88). Dzikir tidak tergantung pada waktu dan tempat. Firman Allah: "Orang-orang yang berdzikir mengingat Allah seraya berdiri, duduk, atau berbaring serta bertafakkur mengenai kejadian langit dan bumi; (kata mereka): Ya Tuhan kami, Paduka tidak menciptakan ini sia-sia, Maha Suci Paduka, maka lindungilah kami dari siksa neraka." (Q.s. Ali Imran: 191).

Dalam hadis riwayat Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw. bersabda, "Menang orang-orang mufarrad." Para sahabat bertanya: "Siapa itu para mufarrad-?. Rasulullah saw. menjawab, "Mereka, para laki-laki dan wanita, yang banyak berdzikir kepada Allah." Dalam hadis lain, juga riwayat Imam Muslim, dari sahabat Abu Sa'id al-Khudry dan Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. bersabda, "Tiadalah suatu kaum berdzikir kepada Allah Ta'ala melainkan para Malaikat akan mengelilinginya, rahmat Allah akan melimpahinya, kedamaian turun kepadanya, dan Allah mennturkannya kepada mereka yang berada di sisi-Nya."
Mereka yang bibirnya selelu terhiasi dengan dzikir, hatinya selalu kumantil dengan dzat yang ia dzikiri, dipastikan akan selalu memancarkan aura kesejukan dalam prilaku kehidupannya. Setiap yang ia lakoni senantiasa menebarkan rahmat dan meredam laknat, mengabarkan nikmat dan menjauhkan adzab. Sebab, hati mereka selalu thuma’ninah (anteng, damai, stabil), sebagaimana firman Allah :”Ala bidzikrillahi tathmainnu al-Qulub”. Dengan demikian, semakin banyak dzikir dilantunkan, semakin besar harapan dunia terisi dengan kedamaian. Semoga!
(By Fa-Hiem adapted from Gus Mus)
Salam Sukses Bahagia
Ingin Umroh?? Ada Kendala Biaya??? Mau kerja  sampingan??
Silakan kontak  0852 2580 5657

Label: , , , , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda