Makna Dzikir
Secara bahasa, dzikir bermula dari dzakara, yadzkuru, dzukr/dzikr, merupakan perbuatan
dengan lisan (menyebutkan atau menuturkan) atau dan dengan hati (mengingat/
menyebut dan mengingat). Ada yang berpendapat bahwa dzukr (bidlammi) saja
yang bisa berarti pekerjaan hati dan lisan, sedang dzikr (bilkasri) khusus
pekerjaan lisan.
Dalam peristilahan kata, dzikr tidak
terlalu jauh pengertian-nya dengan makna-makna
lughawinya semula. Bahkan kamus-kamus moderen seperti
Al-Munjid, Al-Munawir, At-Qamus al-Ashri
dan sebagainya, sudah pula menggunakan pengertian-pengertian istilah seperti
adz-dzikr = membaca tasbih, mengagungkan Allah dan seterusnya. Pengertian-pengertian
ini semua dapat dilihat di banyak lafal dzikr yang dituturkan dalam Al-Qur'an.
Bahkan seringkali pengertian dzikr (dalam berbagai shieghatnya) dalam kitab
suci itu merupakan cakupan dari makna-makna lughawinya sekaligus. Dalam kitab Al-Adzkaar-nya. yang terkenal itu,
Imam Nawawi (631-676 H.), menyebutkan: "Dzikir itu bisa dengan hati, bisa
dengan lisan. Dan yang terbaik adalah yang dengan hati dan dengan lisan
sekaligus. Kalau harus memilih antara keduanya, maka dzikir dengan hati saja
lebih baik dari dzikir dengan lisan saja."
Dalam perkembangannya, dzikir kepada Allah
tidak hanya dibatasi sebagai bacaan-bacaan mulia tuntunan Nabi saw. (dzikir
ma'tsur) dalam waktu-waktu tertentu seperti diajarkan dalam kitab-kitab semacam
Al-Adzkar-nya Imam Nawawi, Al-Ghaniyah-nyz Syekh Abdul Qadir
Jaelany, Shahih al-Kalimath Thayyib li Syekh
al-Islam Ibn Taimiyah-nya, Muhammad Nashiruddin Albany dan sebagainya.
Namun juga diartikan sebagai "ingat Allah" dalam segala gerak tingkah
laku, bahkan dalam tarikan dan hembusan nafas hamba. Sementara itu, orang arif mengatakan,
"Barangsiapa yang ketika mendapatkan kenikmatan melihat Sang Pemberi
Nikmat, tidak kepada kenikmatan itu sendiri, ketika mendapat cobaan pun yang
dilihat hanyalah Sang Pencoba, bukan cobaan itu sendiri. Maka dalam segala
kondisi dia tenggelam dalam memperhatikan dan melihat Al-Haq, menghadap Sang
Kekasih."
Sebenarnya dengan "dzikir
ma'tsur" dari Rasul saw. seperti dapat dipelajari dari semisal kitab-kitab
yang sudah disebutkan tadi, kiranya lebih dari cukup membuat seorang hamba —
jika mengamalkan secara benar — tidak sempat berpaling dari Khaliqnya.
Bayangkan, tuntunan dzikir itu mencakup dzikir sejak bangun tidur hingga akan
tidur lagi. Namun barangkali masalahnya justru kesibukan manusia moderen dan
kepintarannyalah yang lambat laun membuat "dzikir ma'tsur" itu
seolah-olah terlupakan. Boleh jadi, mula-mula memang ada orang yang hanya
komat-kamit mementingkan bacaan dzikir, tanpa penghayatan dan pengingatan
maknanya. Lalu pemeluk teguh yang mcnginginkan kesempurnaan secara mubalaghah
menyatakan tak ada gunanya komat-kamit saja. Kemudian orang malas ikut-ikutan
bukan hanya berkata, "Ya tak ada gunanya komat-kamit saja," tapi,
"Tak ada gunanya komat-kamit!"
Semua orang yang merambah jalan Allah (Ahlu
tharieq Allah) sepakat bahwa dzikir merupakan kunci pintu gerbang Allah dan
pembuka sekat kegaiban, penarik kebaikan-kebaikan dan pelipur keterasingan. Ia merupakan pancaran wilayah dan pendorong kepada ma'rifat Allah. (Baca
misalnya Jamharat al-Auliyaa, 1/88). Dzikir tidak tergantung pada waktu dan
tempat. Firman Allah: "Orang-orang yang berdzikir mengingat Allah seraya
berdiri, duduk, atau berbaring serta bertafakkur mengenai kejadian langit dan
bumi; (kata mereka): Ya Tuhan kami, Paduka tidak menciptakan ini sia-sia, Maha
Suci Paduka, maka lindungilah kami dari siksa neraka." (Q.s. Ali Imran:
191).
Dalam hadis riwayat Imam Muslim dari
sahabat Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw. bersabda, "Menang orang-orang
mufarrad." Para sahabat bertanya: "Siapa itu para mufarrad-?. Rasulullah
saw. menjawab, "Mereka, para laki-laki dan wanita, yang banyak berdzikir
kepada Allah." Dalam hadis lain, juga riwayat Imam Muslim, dari sahabat
Abu Sa'id al-Khudry dan Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. bersabda,
"Tiadalah suatu kaum berdzikir kepada Allah Ta'ala melainkan para Malaikat
akan mengelilinginya, rahmat Allah akan melimpahinya, kedamaian turun
kepadanya, dan Allah mennturkannya kepada mereka yang berada di sisi-Nya."
Mereka yang bibirnya selelu terhiasi dengan
dzikir, hatinya selalu kumantil dengan
dzat yang ia dzikiri, dipastikan akan selalu memancarkan aura kesejukan dalam
prilaku kehidupannya. Setiap yang ia lakoni
senantiasa menebarkan rahmat dan meredam laknat, mengabarkan nikmat dan
menjauhkan adzab. Sebab, hati mereka selalu thuma’ninah (anteng, damai,
stabil), sebagaimana firman Allah :”Ala
bidzikrillahi tathmainnu al-Qulub”. Dengan demikian, semakin banyak dzikir
dilantunkan, semakin besar harapan dunia terisi dengan kedamaian. Semoga!
(By Fa-Hiem
adapted from Gus Mus)
Salam Sukses Bahagia
Ingin Umroh?? Ada Kendala Biaya??? Mau kerja sampingan??
Silakan kontak 0852
2580 5657
Label: bahagia, dzikir, imam, ma'rifat, rahmat, salam, sukses
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda