Minggu, 22 Maret 2015

Adil


Bismillaahir Rohmaanir Rohiim
Secara bahasa, kata adil biasa dimaknai sebagai meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadl’u syai’in ‘ala mahallihi). Makna ini cukup simpel dan sederhana, namun memiliki cakupan yang amat luas. Lebih dari itu, ia juga memiliki kompleksitas  tatkala dipahami dan dipraktekkan. Pasalnya, makna ini pada gilirannya memunculkan pemahaman yang beragam, sehingga beragam pula praktek nyatanya.
 Setiap orang, dalam standar normal dan umum, pasti menyukai sikap adil. Adil dalam makna yang asli dan meletakkannya dalam berbagai konteks kehidupan, sehingga masing-masing yang terkait dengan aktivitas tertentu merasa nyaman. Sebab, adil menjadi kata kunci yang selalu diperjuangkan
. Hanya saja, mesti diakui bersama bahwa makna adil lantas kerapkali semakna dengan ‘kepentingan’. Artinya, sebuah nilai adil diukur dari seberapa banyak sebuah kepentingan dari pihak yang terkait dapat terwujud. Dengan demikian, adil dalam konteks ini seringkali mengalami pendangkalan makna dan parahnya menjadi legitimasi bagi tindakan yang sebenarnya antonim dari adil itu sendiri.
Inilah yang tampak dan muncul sebagaimana menjadi menu harian kita. Kerapkali kita menyaksikan sebuah regulasi yang dalam diktum tujuannya seoalah berupaya merealisasikan nilai adil, namun jauh dari hakikat keadilan. Ada banyak warna argumentasi yang disusun untuk menguatkan bahwa apa yang disampaikan benar-benar sebuah keadilan. Ini menyentuh berbagai bidang bahkan sampai pada tataran personal. Sebagai manusia, kita kerapkali berlaku tidak adil dalam memperlakukan ragam property dan potensi yang Allah berikan. Keadilan dalam konteks ini mestinya diukur dari sejauh mana apa yang telah Allah berikan kita dayagunakan sesuai dengan hakikat pencipataannya, sebagaimana yang Allah jelaskan dalam ajaran-ajaranNya. Menyimpang dari ajaran berarti memperlakukan diri kita dengan tidak adil, sebab kita meletakkan dan memfungsikan tidak pada fungsi, posisi dan proporsinya. Oleh karena itu, jika adil menjadi sesuatu yang kita dengungkan dan perjuangkan, pada posisi yang paling elementer kita mesti berbuat adil terhadap diri kita sendiri.
Keadilan dalam konteks yang lebih luas, tentu terkait dengan pihak lain, sebagai mitra dalam kehidupan kita. Makna adil mesti kita jadikan filosofi dasar dalam relasi dengan sesama, agar masing-masing mampu meletakkan diri dan fungsi sesuai dengan tempatnya. Inilah cita ideal yang harus terus diperjuangkan. Sebab, dalam realitas nyata, seringkali sebuah relasi tidak terbangun dari konsep dan nilai-nilai keadilan, sehingga yang muncul adalah ke-dzaliman. Masing-masing kita secara kasat mata tentu bisa menghitung bagaimana sebuah relasi, regulasi, dan lain-lain mewujud dalam wajah yang jauh dari cita keadilan. Yang muncul adalah sebentuk ‘keadilan’ yang amat subjektif dan terjatuh pada upaya melindungi ‘kepentingan’ dari sang Pemakna kata adil. Akibatnya, cita hakiki dari adil, lantas terkubur bersama tumpukan argumentasi yang dibuat untuk menguatkan sebuah ke-dzaliman. Memori kita, saya yakin, mampu menghitung dan dengan seketika menggambarkan bagaimana ragam ketidakadilan yang dibungkus dengan baju ‘adil’ terjadi dan mewujud di hadapan kita. Inilah kenyataan hidup hari ini.
Di samping itu, hal mendasar yang mesti disadari adalah efek dari sebuah ketidakadilan. Karena tidak sesuai dengan tempat yang semestinya, sebuah ketidakadilan akan merusak sistem dan merugikan sekian banyak pihak yang seharusnya mendapatkan hak-nya sebagaimana mestinya. Inilah makna dzalim. Tentu, akibat selanjutnya memunculkan penganiayaan dan kesengsaraan bagi mereka yang terdzalimi. Orang-orang yang dalam sebuah sitem mestinya tidak mendapat sebuah ‘bencana’, mesti menanggung derita akibat rusaknya sistem keadilan. Sementara mereka yang ber’wenang’ menafsir kata adil, tersenyum dengan sebuah keyakinan: ‘inilah sebuah keadilan’.  
Sebagai bagian dari sebuah Bangsa, kita tentu sepakat dengan kata keadilan yang termaktub dalam dasar Negara kita. Masing-masing kita mendamba kata ini akan menjadi rujukan dan pijakan bagi setiap regulasi yang dilahirkan, sehingga kemaslahatan dapat dirasakan oleh semua. Namun, kita mesti bersabar –barangkali- menunggu sebuah tafsir dari kata keadilan yang benar-benar sesuai dengan nurani dan laku hidup Bangsa ini. Sebab, kenyataan yang muncul bukanlah sebentuk keadilan yang membawa kemaslahatan bagi semua, namun lebih sering keadilan yang dimaknai dengan logika tertentu dan diorientasikan untuk ‘kemaslahatan’ orang tertentu pula. Parahnya, orang-orang ini dalam tafsirnya seringkali mengorbankan hakikat keadilan yang sejati, hingga menimbulkan aniaya yang menggurita. Tentu tidak susah mencari contohnya, baik pada tataran kehidupan sebuah Bangsa, maupun kita sebagai pribadi manusia.
Adil memang kerap ditimang dan dijadikan jimat dalam setiap aturan yang dimunculkan. Kata ini adalah idaman setiap orang, impian setiap kita, anjuran agama, dan predikat lain yang berwajah ‘mesra’. Namun, karena ia diam dan tak mampu melahirkan tafsirnya sendiri, ia kerap dijadikan ‘kembing hitam’ dari prilaku-prilaku yang sejatinya jauh dari kata adil itu sendiri. Ia memang diam, tak berkata, tak bermakna, tak bersuara. Manusia-lah yang memberi, menyusun makna, memberi arti, meretas makna sejati. Oleh karena itu, dibutuhkan penafsir yang benar-benar suci: hati, ucapan, perbuatan. Dengan demikian, diharapkan akan lahir makna adil yang hakiki, dan mewujud dalam prilaku yang terpuji. S’moga!
Oleh: Fa-Hiem
Salam Sukses Bahagia
Ingin Umroh??? Ada kendala biaya??? Mau kerja sampingan???
Silakan kontak 0852 2580 5657



Label: , , , , , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda