Selasa, 18 Oktober 2022

Itsar (mendahulukan yang lain)

Disarikan dari Tulisan Gus Mus Bismillaahir rohmaanir rohiim Salah seorang putera shahabat Umar Ibn Khatthab suatu ketika di zaman ayahnya menjadi kepala negara, pernah merasa tagih –semacam ngidam—kepada daging kambing. Maka disembelihnya kambing satu-satunya yang ia miliki dan menyuruh isterinya memasaknya. “Sudah lama sekali aku tidak memakan daging kambing!” katanya. Syahdan; sebelum sempat dia menikmati daging kambingnya, datang ayahnya, sang Amirul mukminin Umar Ibn Khatthab. Dengan arif, sang ayah mengingatkan bahwa saat ini negeri sedang dilanda paceklik; banyak orang tidak menemukan makanan untuk sekedar menutup rasa lapar. Dalam keadaan seperti ini, sangatlah tidak pantas, bila putera kepala negara justru ‘berpesta’ kambing guling. Sang putera pun segera menyadari kekhilafannya dan menyesal. Mungkin karena tagihnyalah sampai lupa tersadari olehnya kondisi negerinya yang sedang dilanda paceklik dan banyak saudara-saudaranya yang kelaparan. Walhasil, akhirnya kambing yang sudah masak pun diserahkan untuk dibagikan kepada penduduk yang jauh lebih membutuhkan. Itulah ietsaar, sikap mementingkan orang lain dari diri sendiri. Kita jadi teringat kisah di zaman Nabi yang terjadi seusai sebuah pertempuran. Beberapa prajurit yang terluka terlihat kehausan, sedang persediaan air minum terbatas. Maka apa yang terjadi? Masing-masing prajurit yang terluka itu ‘berebut’ menyerahkan hak minum kepada rekannya. “Berikan dulu minuman itu kepada rekanku ini, dia lebih membutuhkan dari pada aku!” masing-masing mengucapkan ini karena didorong oleh sikap ietsaarnya. Air minum pun berputar dari satu prajurit kepada prajurit yang lain hingga akhirnya, masya Allah, prajurit-prajurit itu gugur semuanya karena kehausan. Syeikh Sariy as-Saqathy (wafat th. 253 H./967 M.) seorang arif, paman dari Sufi terkenal al-Juneid dan murid sufi besar Ma’ruf Karkhy, pernah berkata: “Tiga puluh tahun aku beristighfar, memohon ampun Allah atas ucapanku sekali ‘Alhamdulillah’!” “Lho, bagaimana itu?” tanya seseorang yang mendengarnya. “Terjadi kebakaran di Baghdad,” kata Syeikh menjelaskan, “lalu ada orang yang datang menemuiku dan mengkabarkan bahwa tokoku selamat tidak ikut terbakar. Aku waktu itu spontan mengucap, Alhamdulillah! Maka ucapan itulah yang kusesali selama 30 tahun ini. Aku menyesali sikapku yang hanya mementingkan diri sendiri dan melupakan orang lain.” Anda bisa membayangkan dalamnya penyesalan Syeikh Sariy as-Saqathy dari kenyataan bahwa beliau beristighafar selama 30 tahun. Tentu bukan ucapan ‘Alhamdulillah’-nya itu benar yang membuat beliau menyesal. Beliau tidak habis-habis menyesal karena sikapnya yang terlanjur diambil dengan mengucap hamdalah. Yaitu –seperti beliau jelaskan sendiri—sikap melihat dan mementingkan diri sendiri. Beliau menyesal ketika musibah kebakaran melanda negerinya, sikap spontannya bukannya prihatin terhadap para korban kebakaran, tapi justru mensyukuri tokonya sendiri yang selamat. Alangkah mulianya penyesalan sufi mulia ini. Saya merenungkan dua kisah itu dan aku malu sendiri. Alangkah jauhnya sikap perilaku aku dengan tokoh-tokoh pendahulu itu. alangkah banyaknya kesalahan-kesalahan yang jauh lebih besar dari itu terlewatkan dan tidak aku sesali. Aku malu dengan sikap egois aku yang keterlaluan selama ini, yang selalu terlalu mementingkan diri sendiri, hingga menganggap orang lain tidak penting. atau malah sama sekali tidak memikirkannya. Ketika beribadah pun aku sibuk dengan diriku sendiri. Salat yang mestinya harus aku akhiri dengan memberi salam, mendoakan selamat, ke kanan ke kiri; tidak pernah aku sadari dan tidak sebenarnya aku niati mendoakan kanan-kiri. Ketika menjadi imam, aku tidak pernah meminta persetujuan jam’ah makmumku akan apa yang aku baca. Bahkan tidak aku pertimbangkan kondisi mereka yang mestinya bermacam-macam. Ada yang tua; ada yang muda; ada yang sibuk; ada yang mempunyai keperluan; dsb. Aku hanya berpikir semua yang aku lakukan sebagai imam, pasti sesuai dengan mereka. Apa pun sikap aku –saat berdiri, ruku’, sujud, dsb.— dan apapun yang aku baca –panjang atau pendek—hanya terserah kemauanku. Mereka harus ikut. Ketika memberi sedekah, yang teringat olehku pertama dan paling utama bukan hajat orang yang aku sedekahi, tetapi balasan yang akan aku terima. Kadang-kadang malah balasan itu aku harapkan secepatnya di dunia ini. Ketika aku berpuasa, aku hanya memikirkan lapar dan hausku sendiri, seraya membayangkan dan mengharapkan sorga Rayyan. Sengatan haus dan lapar yang sangat sementara, tidak membuatku teringat kepada saudara-saudaraku yang haus dan laparnya nyaris permanen. Ketika berhaji aku hanya memikirkan kemabruran hajiku sendiri, tanpa memikirkan saudara-saudaraku yang juga ingin haji mereka mabrur. Seringkali aku mendesak dan menyikut kanan-kiri demi kemakbulan ibadahku sendiri. Apabila dalam ibadah ritual saja, egoku yang mengedepan; bagaimana pula dengan ibadah sosialku? Astaghfirullah! Allahumma innaKa ‘Afuwwun Kariem tuhibbul ‘afwa, fa’fu ‘anna! Ya Allah, anugerahilah aku keberanian untuk bersikap ietsaar, mementingkan orang lain. Atau setidaknya jauhkanlah aku dari sikap ananiyah, yang hanya mementingkan diri sendiri. Amin. (*) Salam Sukses Bahagia Ingin Umroh??? Ada kendala biaya??? Mau kerja sampingan??? Silakan kontak 0852 2580 5657

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda