AL ASHR
.. selengkapnya ..!
Label: akhirat, Hati, kiai, mahkamah, malaikat, surga
Disarikan dari Tulisan Gus Mus Bismillaahir rohmaanir rohiim Salah seorang putera shahabat Umar Ibn Khatthab suatu ketika di zaman ayahnya menjadi kepala negara, pernah merasa tagih –semacam ngidam—kepada daging kambing. Maka disembelihnya kambing satu-satunya yang ia miliki dan menyuruh isterinya memasaknya. “Sudah lama sekali aku tidak memakan daging kambing!” katanya. Syahdan; sebelum sempat dia menikmati daging kambingnya, datang ayahnya, sang Amirul mukminin Umar Ibn Khatthab. Dengan arif, sang ayah mengingatkan bahwa saat ini negeri sedang dilanda paceklik; banyak orang tidak menemukan makanan untuk sekedar menutup rasa lapar. Dalam keadaan seperti ini, sangatlah tidak pantas, bila putera kepala negara justru ‘berpesta’ kambing guling. Sang putera pun segera menyadari kekhilafannya dan menyesal. Mungkin karena tagihnyalah sampai lupa tersadari olehnya kondisi negerinya yang sedang dilanda paceklik dan banyak saudara-saudaranya yang kelaparan. Walhasil, akhirnya kambing yang sudah masak pun diserahkan untuk dibagikan kepada penduduk yang jauh lebih membutuhkan. Itulah ietsaar, sikap mementingkan orang lain dari diri sendiri. Kita jadi teringat kisah di zaman Nabi yang terjadi seusai sebuah pertempuran. Beberapa prajurit yang terluka terlihat kehausan, sedang persediaan air minum terbatas. Maka apa yang terjadi? Masing-masing prajurit yang terluka itu ‘berebut’ menyerahkan hak minum kepada rekannya. “Berikan dulu minuman itu kepada rekanku ini, dia lebih membutuhkan dari pada aku!” masing-masing mengucapkan ini karena didorong oleh sikap ietsaarnya. Air minum pun berputar dari satu prajurit kepada prajurit yang lain hingga akhirnya, masya Allah, prajurit-prajurit itu gugur semuanya karena kehausan. Syeikh Sariy as-Saqathy (wafat th. 253 H./967 M.) seorang arif, paman dari Sufi terkenal al-Juneid dan murid sufi besar Ma’ruf Karkhy, pernah berkata: “Tiga puluh tahun aku beristighfar, memohon ampun Allah atas ucapanku sekali ‘Alhamdulillah’!” “Lho, bagaimana itu?” tanya seseorang yang mendengarnya. “Terjadi kebakaran di Baghdad,” kata Syeikh menjelaskan, “lalu ada orang yang datang menemuiku dan mengkabarkan bahwa tokoku selamat tidak ikut terbakar. Aku waktu itu spontan mengucap, Alhamdulillah! Maka ucapan itulah yang kusesali selama 30 tahun ini. Aku menyesali sikapku yang hanya mementingkan diri sendiri dan melupakan orang lain.” Anda bisa membayangkan dalamnya penyesalan Syeikh Sariy as-Saqathy dari kenyataan bahwa beliau beristighafar selama 30 tahun. Tentu bukan ucapan ‘Alhamdulillah’-nya itu benar yang membuat beliau menyesal. Beliau tidak habis-habis menyesal karena sikapnya yang terlanjur diambil dengan mengucap hamdalah. Yaitu –seperti beliau jelaskan sendiri—sikap melihat dan mementingkan diri sendiri. Beliau menyesal ketika musibah kebakaran melanda negerinya, sikap spontannya bukannya prihatin terhadap para korban kebakaran, tapi justru mensyukuri tokonya sendiri yang selamat. Alangkah mulianya penyesalan sufi mulia ini. Saya merenungkan dua kisah itu dan aku malu sendiri. Alangkah jauhnya sikap perilaku aku dengan tokoh-tokoh pendahulu itu. alangkah banyaknya kesalahan-kesalahan yang jauh lebih besar dari itu terlewatkan dan tidak aku sesali. Aku malu dengan sikap egois aku yang keterlaluan selama ini, yang selalu terlalu mementingkan diri sendiri, hingga menganggap orang lain tidak penting. atau malah sama sekali tidak memikirkannya. Ketika beribadah pun aku sibuk dengan diriku sendiri. Salat yang mestinya harus aku akhiri dengan memberi salam, mendoakan selamat, ke kanan ke kiri; tidak pernah aku sadari dan tidak sebenarnya aku niati mendoakan kanan-kiri. Ketika menjadi imam, aku tidak pernah meminta persetujuan jam’ah makmumku akan apa yang aku baca. Bahkan tidak aku pertimbangkan kondisi mereka yang mestinya bermacam-macam. Ada yang tua; ada yang muda; ada yang sibuk; ada yang mempunyai keperluan; dsb. Aku hanya berpikir semua yang aku lakukan sebagai imam, pasti sesuai dengan mereka. Apa pun sikap aku –saat berdiri, ruku’, sujud, dsb.— dan apapun yang aku baca –panjang atau pendek—hanya terserah kemauanku. Mereka harus ikut. Ketika memberi sedekah, yang teringat olehku pertama dan paling utama bukan hajat orang yang aku sedekahi, tetapi balasan yang akan aku terima. Kadang-kadang malah balasan itu aku harapkan secepatnya di dunia ini. Ketika aku berpuasa, aku hanya memikirkan lapar dan hausku sendiri, seraya membayangkan dan mengharapkan sorga Rayyan. Sengatan haus dan lapar yang sangat sementara, tidak membuatku teringat kepada saudara-saudaraku yang haus dan laparnya nyaris permanen. Ketika berhaji aku hanya memikirkan kemabruran hajiku sendiri, tanpa memikirkan saudara-saudaraku yang juga ingin haji mereka mabrur. Seringkali aku mendesak dan menyikut kanan-kiri demi kemakbulan ibadahku sendiri. Apabila dalam ibadah ritual saja, egoku yang mengedepan; bagaimana pula dengan ibadah sosialku? Astaghfirullah! Allahumma innaKa ‘Afuwwun Kariem tuhibbul ‘afwa, fa’fu ‘anna! Ya Allah, anugerahilah aku keberanian untuk bersikap ietsaar, mementingkan orang lain. Atau setidaknya jauhkanlah aku dari sikap ananiyah, yang hanya mementingkan diri sendiri. Amin. (*) Salam Sukses Bahagia Ingin Umroh??? Ada kendala biaya??? Mau kerja sampingan??? Silakan kontak 0852 2580 5657
Membaca al Qur`an adalah salah satu dari jenis ibadah sunah yang dianjurkan untuk dikerjakan. Ibadah apa pun itu akan semakin lebih berkwalitas nilainya selaras dengan semakin disempurnakannya tertib dan adab-adabnya. Mengapa ada kaitan erat antara kwalitas di satu sisi dengan tertib dan adab di sisi lain? Karena tujuan ibadah itu adalah upaya untuk “menyenangkan Alloh” jadi bukan sekedar melakukan saja, tapi juga ada unsur bagaimana supaya dengan pekerjaan kita itu menjadikan Alloh ridlo? Ibarat ketika orang tua kita memerintahkan untuk dibuatkan kopi. Ya kita harus mengerti cara untuk membuat kopi berikut alat yang disukai orang tua kita dalam menghidangkannya. Kalua asal bikin kopi tanpa menghiraukan cara standart yg dimaui orang tua kita, bias-bisa justru akan membuat orang tua kita jadi marah. Misalnya bikin kopi dengan adonan gula, kopi tapi airnya pakai air dingin. Disajikan menggunakan ember. Ketika orang tua kita melihat kita bawa ember, tentu beliau sudah geram. Apalagi setelah beliau cicipi rasanya seperti debu yg diaduk. (rasa kopi yang tidak pakai air panas kan seperti itu). Tentu orang tua kita akan marah dan menolak kopi buatan kita itu, meskipun seember banyaknya. Jadi meskipun kita telah mentaati perintah beliau, tapi gara-gara salah cara dan alatnya, kita malah dibilang menghina beliau. Inilah sesungguhnya yang terjadi bila kita beribadah dengan asal-asalan atau beribadah menurut dugaan kita. Untuk lebih mudahnya memahami pernyataan ini, kita bandingkan dengan ilustrasi beerikut : bila kita menulis puisi, kemudian kita temple di papan pengumuman atau di madding. Lalu datang orang membaca puisi yang kita temple tersebut. Bagaimana perasaan kita? Tentu kita akan senang. Kita senang karena puisi kita dibaca orang dan kita akan menyenangi orang yang membaca puisi kita. Dengan catatan bila orang tersebut membaca dengan benar. Sekarang bagaimana perasaan kita bila puisi kita itu dibaca orang secara salah, yang mengakibatkan berubahnya arti? Misalnya tulisan puisi kita berbunyi “ketika jiwa yang mulai berkobar” dibaca “ketik aji wayang mula iber kobar” hari berikutnya si pembaca tadi dating lagi untuk baca puisi kita dengan cara yang sama salahnya seperti yang kemarin. Hari berikutnya dating lagi, bacanya salah lagi. Demikian seterusnya. Kita yang awalnya memaklumi lama-lama berubah menjadi jengkel pada si pembaca puisi kita itu. Kita akan merasa dilecehkan atau diledek olehnya ketika si pembaca puisi kita itu dating untuk membacanya dengan salah lagi. Begitu juga dengan membaca al Qur`an yang tidak sesuai dengan aturan bacaannya, entah itu tidak pas mahrojnya, tidak sesuai panjang pendeknya, yang tidak tasydid dibaca tasydid, giliran ada tasydid tidak dibaca tasydid, salah tajwidnya bisa idhghom atau ikhfaknya dan seterusnya. Kesalahan baca al Qur`an itu sesungguhnya “menyakiti perasaan” Alloh, kalau hal ini dilakukan secara pribadi. Tapi kalau hal ini dilakukan oleh khotib atau imam sholat, maka hal ini selain akan menyakiti Alloh juga akan menyakiti perasaan sesama orang Islam. Tindakan menyakiti sesame Muslim itu masuk kategori perbuatan mungkar, berarti hal ini harus dicegah terutama oeh orang yang mempunyai kekuasaan untuk itu. Secara umum umat Islam itu bisa membedakan mana yang bacaan Al Qur`annya fasih dan mana yang tidak fasih. Jadi kalau ada orang menjadi khotib atau imam sholat sementara bacaan al Qur`annya tidak fasih itu makamum dan orang Islam yang kebetulan mendengar itu tidak tau. Mereka tau kalau bacaan imam atau khotib itu tidak fasih, Cuma mereka lebih memilih diam daripada menegur sang imam atau khotib itu. Sebagian berbisik sesama makmum tentang bacaan imam atau khotib yang tidak fasih tersebut. Jadi. Kalau dirasa masih ada yang lebih fasih dalam membaca al Qur`an pada saat itu, sebaiknya jangan memberanikan diri menjadi khotib atau imam sholat. Karena kalau kita tetap memaksakan diri untuk maju menjadi imam sholat, minimal kita akan menjadi penyebab orang lain untuk ghibah/ gossip. Yaitu sebagain makmum akan curhat ke sesame makmum tentang ketidak-fasihan bacaan imam tadi. Seperti celetukan makmum ini “pak Fulan baca al Qur`an masih blepotan kok maksa diri jadi imam ya? Kayak ga ada yang fasih aja” yang menimpali “pak Fulan itu ambisinya gede tp ga dibarengi skil” dst. Oleh karena itu, marilah kita berhati-hati dalam beribadah itu, pelajarilah secara lebih mendalam lagi mengenai seluk beluk, tertib dan adab-adabnya, agar niat awal kita ibadah itu yang sesogyanya untuk mencari ridlo Alloh tidak malah justru mendapat murka dan tidak diterima amal ibadahnya. Dalam hal membaca al Qur`an ini, sebaiknya kita mencari orang yang fasih bacaaanya kemudian belajarlah dari beliau tentang makhroj dan tajwidnya. Untuk adab-adabnya standart minimal mempunyai wudlu, menutup aurat, membaca ta`awud sebelum membaca al Qur`an, menghadap kiblat, sujud tilawah ketika mendengar atau membaca bacaan ayat sajdah, menutup bacaan al qur`an dengan kalimat shodaqoolloohu `adhiim. Setiap kita menginginkan ibadah kita itu diterima Alloh dan memperoleh ridlo-Nya, uniknya sebagian dari kita belum menyadari bahwa untuk mencapai tujuan ini, kita banyak lalai memperbaiki cara kita melakukannya sehingga kita sering merasa bahwa amal ibadah kita sudah bagus, sudah top dan yakin kalau amal ibadah kita itu diterima Alloh swt. Dengan begitu kita merasa sudah tidak perlu mengetahui lebih dalam lagi. Sudah cukup kok. Ingat bahwa perasaan demikian itu adalah tipu daya setan agar amal ibadah kita seperti buih, kosong tidak ada isinya alias sia-sia karena tidak diterima Alloh swt. Na`udzubilllahi mindzaalik. Untuk menghindari ibadah yang sia-sia, marilah kita luangkan waktu dan tenaga untuk mendalami seluk beluk setiap amal ibadah barang 30 menit per hari, ato per 3 hari atau per pekan. Dengan harapan agar dengan upaya kita tersebut dapat menghasilkan kwalitas ibadah kita yang lebih baik sehingga layak untuk dijadikan sebagai bekal kita nanti dalam menghadap Alloh swt. Sebagai tambahan ; lebih 8 jam dalam sehari kita mengerahkan tenaga, waktu dan pikiran kita untuk urusan dunia kita yang sementara ini, masak kita tidak mampu meluangkan waktu, tenaga dan pikran kita barang 30 menit untuk persiapan kita mencari bekal buat akhirat yang akan berlangsung selama-lamanya? Lekaslah menyadari hal ini agar kita tidak menyesal dengan penyesalan yang tidak terkirakan. Demikian semoga Alloh senantiasa mengaruniai kita taufik dan hidayah-Nya, sehingga senantiasa berada pada jalur yg benar. AAmiin. Semoga kita sukses dunia dan sukses akhirat 0852-2580-5657